Selasa 10 Mar 2020 18:40 WIB

MUI Kritik Omnibus Law Soal Fatwa Halal dari Ormas Islam

Kehalalan suatu produk setiap ormas Islam pasti akan berbeda pandangan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ilustrasi Omnibus Law Halal(Republika/Kurnia Fakhrini)
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ilustrasi Omnibus Law Halal(Republika/Kurnia Fakhrini)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lukmanul Hakim mengkritik peran ormas Islam dalam rancangan Omnibus Law alias RUU Cipta Kerja. Karena, dalam RUU tersebut masing-masing ormas Islam disebutkan bisa mengeluarkan fatwa halal sendiri.

Dia menjelaskan, dalam menetapkan kehalalan suatu produk setiap ormas Islam pasti akan berbeda pandangan, sehingga masyarakat yang akan mengajukan sertifikasi halal harus mendatangi satu per satu ormas Islam. Karena itu, menurut dia, jika masing-masing ormas Islam diberikan peran untuk mengeluarkan fatwa halal, maka akan membebani perekonomian masyarakat.

"Dalam kacamata pemerintah bahwa dengan menyerahkan ke ormas-ormas mungkin dipikirnya lebih cepat atau lebih ekonomis. Padahal, kalau kami melihatnya, justru dengan diberikan ke ormas nanti biaya ekonominya jadi tinggi," ujar Lukmanul saat ditemui usai Rapat Pimpinan MUI di Kantor MUI Pusat, Jakarta Pusat, Selasa (10/3).

Dia mengatakan, sebenarnya proses penentuan fatwa halal tersebut sudah dibahas sejak 2008 lalu. Menurut dia, saat itu para pimpinan ormas sepakat fatwa halal untuk produk pangan, obat-obatan dan kosmetik diserahkan ke MUI. Karena, MUI sendiri sudah merupakan representasi dari ormas-ormas Islam di Indonesia. "Dulu kita sudah sepakat menunjuk MUI sebagai satu-satunya lembaga fatwa di bidang sertfiikasi makanan, obat-obatan dan kosmetik, dalam hal ini LPPOM," ucapnya.

Namun, kini pemerintah justru membuka diskusi itu lagi dalam RUU Omnibus Law. Karena itu, dia menyarankan agar RUU yang tengah dibahas oleh DPR tersebut diperbaiki lagi agar kewenangan fatwa halal itu tetap dilakukan oleh MUI saja. "Dulu sudah kita bahas, tapi dibuka lagi forumnya di Omnibus Law itu. Makanya saya kira itu menurut saya tetap mestinya di MUI saja," kata Lukmanul. 

Proses penetapan kehalalan produk-produk yang beredar di Indonesia masuk dalam rancangan Omnibus Law alias RUU Cipta Kerja. Secara garis besar, RUU Ciptaker tersebut membuat sejumlah perubahan, yang diantaranya soal pelibatan ormas Islam berbadan hukum dalam proses sertifikasi halal.

Perubahan signifikan itu terdapat pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Pada UU JPH, dalam melaksanakan kewenangannya BPJPH sebelumnya hanya bekerja sama dengan LPH dan MUI. Sedangkan dalam RUU Ciptaker aturan barunya adalah ormas Islam yang berbadan hukum juga jadi pihak yang bisa diajak kerja sama oleh BPJPH.

Pada revisi pasal-pasal UU JPH selanjutnya dalam RUU Ciptaker, ormas Islam dan MUI juga akan dilibatkan mengeluarkan fatwa hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk (Pasal 32), kemudian penetapan fatwa kehalalan produk (Pasal 33). Dalam UU JPH sebelumnya, sidang fatwa halal itu hanya bisa dilakukan MUI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement