Selasa 31 Mar 2020 17:38 WIB

Jeddah yang Memesona Banyak Orang Prancis

Jeddah adalah pintu gerbang ke Arab Saudi.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Fakhruddin
Bandara Internasional King Abdulaziz baru di Jeddah, Arab Saudi.
Foto: Arabian Business
Bandara Internasional King Abdulaziz baru di Jeddah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID,PARIS -- Dalam buku berjudul "The Discovery of Arabia by the French: Anthology of Texts on Jeddah 1697-1939," mantan konsul jenderal Prancis di Jeddah, diplomat Louis Blin, menelusuri sejarah dan evolusi hubungan panjang negaranya dengan kota Jeddah dan kawasan Timur Tengah. Blin menghadirkan teks-teks oleh sekitar 50 penulis Prancis, yang merupakan karya-karya yang menjangkau lebih dari dua abad. Para penulis itu memberikan kesan mereka tentang wilayah Arab, khususnya Jeddah.

Para penulis yang dikutip termasuk raksasa sastra seperti Victor Hugo ("Les Misérables," "The Bunch of Notre-Dame"), Alexandre Dumas ("The Three Musketeers") dan Jules Verne (“Twenty Thousand Leagues Under the Sea”). Tulisan-tulisan mereka tentang hubungan Prancis dan Jeddah dan kawasan mengungkap banyak informasi menarik yang mungkin mengejutkan bagi banyak orang Saudi dan Prancis.

Sebagai pengunjung tetap ke Arab Saudi, Blin berbicara kepada Arab News tentang beberapa hal yang ia pelajari ketika menjadi konsul jenderal. Ia mengungkapkan tentang sejumlah hal bertepatan dengan peringatan 175 tahun berdirinya Konsulat Prancis di Jeddah.

Blin mengatakan, Konsulat Jeddah didirikan pada 1839 dan merupakan pos diplomatik Prancis pertama di Semenanjung Arab. Menandai peringatan berdirinya Konsulat Prancis di Jeddah itulah yang memicu minatnya untuk menggali kembali sejarah hubungan negaranya dengan kota di Arab Saudi tersebut.

"Saya perhatikan bahwa selama 175 tahun, banyak diplomat telah menulis dan menerbitkan artikel tentang unggahan mereka dan kemudian saya menyadari bahwa, pada kenyataannya, banyak penulis, jurnalis, dan pengelana lainnya telah melakukan hal yang sama karena Jeddah telah memesona banyak orang Prancis," kata Blin, dilansir di Arab News, Selasa (31/3).

Dengan meneliti banyak karya-karya itu, ia berencana untuk menyajikan pokok-pokok yang ia temukan yang telah berkembang dengan cepat. Pada awalnya, Blin mengaku ia berpikir untuk menulis artikel. Namun, kemudian idenya berkembang menjadi buku setebal 800 halaman, lantaran materi luar biasa yang disediakan Jeddah. Menurutnya, orientalisme Prancis umumnya dikenal karena ketertarikannya pada Afrika Utara dan Syam (Mediterania Timur), namun sama sekali tidak dikenal di Semenanjung Arab.

"Namun, teks tertulis tentang Jeddah tidak terbatas pada diplomat, banyak di antaranya adalah orientalis. Penulis Prancis yang hebat seperti Victor Hugo, Alexandre Dumas, Jules Verne, (pelopor jurnalisme investigatif) Albert Londre, (novelis dan jurnalis) Joseph Kessel dan (filsuf dan penulis) Paul Nizan juga menulis tentang kota ini," katanya.

Karya-karya para penulis itu dan banyak lainnya memberinya perspektif baru tentang perkembangan hubungan antara Prancis dan Jeddah sejak 1839 dan seterusnya. Ia mengatakan, orang Prancis banyak menulis tentang Jeddah karena di sana pos diplomatik Prancis pertama didirikan selama periode persaingan Prancis-Inggris di Laut Merah. Meskipun, tak satu pun dari kedua negara itu berhasil menginjakkan kaki di tempat yang sekarang dikenal sebagai Arab Saudi.

Pada masa itu, Inggris berada di Aden dan Prancis di Djibouti. Akan tetapi, pada kenyataannya, mereka mampu melemahkan persaingan mereka di Laut Merah. Blin menuturkan, orang Prancis pertama yang tertarik pada wilayah itu adalah Bonaparte. Hal pertama yang dia lakukan setelah mengepung Kairo selama penaklukannya di Mesir adalah mengirim surat ke syarif Makkah.

"Dia ingin sharif sebagai sekutu dalam konfliknya dengan Inggris karena dia berusaha untuk mencapai India, yang mengharuskannya pergi melalui Laut Merah," ujarnya.

Hal ini kemudian menandai awal hubungan politik antara Prancis dan kawasan Arab, yang kemudian kian tumbuh dan berkembang. Pengganti Bonaparte di Mesir, Mohammed Ali, berhasil menaklukkan Hijaz, sampai Najd. Penaklukkan itu terjadi 15 tahun setelah kepergian Napoleon.

Mohammed Ali melakukannya dengan pasukan yang dipimpin Prancis karena dia memiliki ide bijak untuk merekrut tentara Napoleon yang dikalahkan. Dengan demikian, dia memiliki dokter, arsitek, dan insinyur di pasukannya dan semuanya mencapai Jeddah.

Sedangkan tentara Mesir yang menaklukkan Hijaz terutama terdiri dari perwira Prancis. Rumah sakit pertama di Semenanjung Arab, seperti barak pertama dan apotek pertama, dibangun oleh orang Prancis.

Bahkan, menurut Blin, ajudan asal Prancis untuk Ahmad Bacha, keponakan Mohammed Ali yang merupakan komandan tentara Mesir, akhirnya menjadi gubernur Jeddah secara de facto selama tiga tahun. Sebelum akhirnya, kerajaan Inggris dan Ottoman bersatu untuk menuntut penarikan pasukan Mesir dari Hijaz. 

Kala itu, Bacha gagal menaklukkan Asir (provinsi di Saudi) dan harus mundur ke Makkah. Pasukan bersenjatanya dipimpin oleh seorang Prancis yang menjadi gubernur Jeddah, yang merupakan ibu kota Mohammed Ali. Sementara Mesir memerintah Hijaz dari 1813 hingga 1840, hubungan Prancis dengan Jeddah berlanjut.

"Ini adalah kisah yang kurang dikenal di kalangan orang Prancis atau Saudi, karena banyak yang percaya bahwa Arab Saudi adalah pelestarian Anglo-Saxon, tetapi dalam fakta dan teks, Prancis memiliki lebih banyak hubungan dengan Jeddah daripada yang lain," kata Blin.

Ia menambahkan, bahwa Jeddah adalah pintu gerbang ke Arab Saudi. Oleh karena itu, judul bukunya ialah 'The Discovery of Arabia by the French'. Sebab melalui kota Jeddah, katanya, Prancis menemukan seluruh wilayah Arab.

"Mereka tidak menjelajah di dalam (negara), tidak seperti Inggris yang mengirim penjelajah beberapa kali melalui Irak atau Suriah. Prancis membatasi diri di Laut Merah dan garis pantai," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement