Kamis 09 Apr 2020 04:29 WIB

Peringkat Covid, Mudik, dan Kemungkinan Masuk Rekor Dunia

Tidak signifikan jika membandingkan peringkat covid Indonesia dengan negara lain.

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*)

Sejatinya orang Amerika adalah warga dunia yang paling hobi membuat peringkat. Apa pun bisa dibuat peringkat, dari orang terkaya, presiden termiskin, hingga negara pengumpul sampah paling banyak. Tak hanya warganya, media Amerika Serikat juga hobi membuat peringkat.

Namun, pada hari-hari penuh kecemasan seperti saat ini, peringkat menjadi sesuatu yang tak enak di dengar, terutama yang berhubungan dengan Covid-19, seperti kalimat 10 negara tertinggi terpapar Covid-19.

Untungnya, mungkin begitu maksud Presiden Joko Widodo, Indonesia tidak masuk 10 besar. Bahkan, Jokowi meminta agar 10 negara yang memiliki kasus corona (Covid-19) tertinggi di dunia diumumkan ke masyarakat Indonesia. Alasannya, Jokowi ingin masyarakat mengetahui jika wabah virus corona tak hanya melanda Indonesia.

"Mestinya ada yang menyampaikan. Mungkin bukan dari kita, tapi perlu disampaikan mengenai 10 negara dengan kasus tertinggi, misalnya di Amerika Serikat sekarang sudah 305 ribu, Italia 119 ribu, Spanyol 117 ribu, Jerman 85 ribu, RRT 82 ribu, Prancis 63 ribu, Iran 53 ribu, Inggris 38 ribu, Turki 20 ribu, Swis 19 ribu," kata Jokowi, dikutip dari Republika.co.id, Senin (6/4).

Bila merujuk ke data worldometers.info, Indonesia berada pada peringkat ke-38 dengan total pasien positif Covid-19 sebanyak 2.273 per Senin (6/4). Namun, sedikit miris dengan angka kematian yang mencapai 198 orang dan sembuh jauh di bawah, yaitu 164.

Memang bila merujuk angka tersebut, jumlah pasien Covid-19 terbilang jauh dari jumlah penduduk Indonesia. Namun, sayangnya dari data worldmeters.info pula terungkap total hasil di Indonesia amat minim dibandingkan negara lain, yaitu hanya 9.712 atau hanya 36 orang dari total 1 juta penduduk.

Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 51.937 tes atau 1,605 per 1 juta penduduk atau bisa dibandingkan Thailand yang sebanyak 25.071 atau 359 per 1 juta penduduk. Bila merujuk pada angka tersebut, penulis sebagai orang awam tentu merasakan kekhawatiran atau kemungkinan bahaya laten dari kasus Covid-19. Apalagi, pada saat yang sama, pemerintah sama sekali tidak melarang mudik.

Soal mudik ini penulis tergelitik dengan ucapan Direktur Eksekutif LSI, Denny JA, beberapa waktu lalu. Dikutip dari Republika.co.id, ia mengatakan jika Presiden Jokowi tidak melarang dengan tegas mudik Lebaran, dikhawatirkan Indonesia akan segera melejit masuk ke lima besar negara yang terpapar Covid-19.

Menurut dia, Indonesia memang jauh dari lima besar penderita Covid-19 dunia. "Tapi, jika Jokowi tak melarang dengan keras mudik Lebaran, Indonesia segera melejit masuk ke dalam lima besar itu,” kata Denny JA, dalam siaran persnya.

Ia menjelaskan, tahun lalu dari wilayah Jabotabek saja jumlah pemudik mencapai angka 14,9 juta penduduk. Angka ini membengkak jika ditambah penduduk kota besar lain.

Jika diasumsikan, mudik pada 2020 di angka 14,9 juta untuk seluruh Indonesia. "Di kampung halaman, mereka akan berinteraksi dalam kultur komunal. Mereka berjumpa keluarga besar, tetangga, sahabat,” kata Denny. Kalau rata-rata 1 orang yang mudik berinteraksi dengan 3 orang lainnya, mudik menyebabkan interaksi sekitar 45 juta penduduk Indonesia.

Dari angka itu, kata Denny, kalau 1 persen saja dari jumlah populasi pascamudik terpapar Covid-19, artinya setelah mudik akan ada 450 ribu penduduk Indonesia menjadi korban. Angka itu bahkan sudah melampaui populasi korban di Amerika Serikat yang kini berada di puncak negara paling terpapar virus corona.

Dia mengingatkan, virus corona di dunia makin cepat menyebar karena momen Imlek 25 Januari 2020. Di Indonesia, mediumnya adalah mudik dan Lebaran. "Ini memang situasi tak normal. Mudik biasanya begitu hangat dan menggembirakan. Kini mudik justru menakutkan. Namun, Jokowi berada dalam posisi menentukan bagaimana mudik 2020 akhirnya dikenang,” ungkap dia.

Menurut penulis, logika ini amat tepat karena bila kita membaca beberapa berita, disebutkan pasien positif dan PDP di daerah sering kali baru pulang dari Jakarta. Artinya, Jakarta memang sudah menjadi episentrum Indonesia.

Dengan angka kemungkinan ratusan ribu dan proses tes pasien yang lambat seperti saat ini, sudah sepatutnya pemerintah tak mengimbau warga yang pulang mudik untuk dikarantina, tetapi harus melarang sepenuhnya. Sebab, jangan sampai ketika Presiden menyampaikan peringkat Covid-19, Indonesia sudah masuk rekor dunia. Rekor di mana jumlah korban Covid-19 terbanyak berada di lima besar dunia.

*) penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement