Kamis 09 Apr 2020 04:31 WIB
Emansipasi Islam

Buya Hamka Dan Wacana Emansipasi (Bag 4, Habis)

Buya Hamka dan Feminisme

Buya Hamka dan isterinya
Foto: Google.com
Buya Hamka dan isterinya

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Priyanka Kusuma Wardhani – Peminat Sejarah Islam di Indonesia

Dalam tafsirnya, Buya Hamka menegaskan bahwa suami yang baik akan menggunakan kata-kata dan sikap yang patut untuk membimbing istrinya.

Kontroversi “Memukul Perempuan”

Meskipun secara fisik perempuan lebih lemah dibanding laki-laki, tidak ada satu pun pembenaran di Al-Qur’an untuk melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Pada lanjutan surat An-Nisaa’ ayat 34 memang ada perintah untuk memukul istri, tapi ayat ini bukan untuk menjadi justifikasi melakukannya.

Jika perempuan tidak taat dan tidak patuh, yang dalam istilahnya disebut nusyuz, baik kepada Allah maupun suaminya, ada tiga cara yang diajarkan dalam ayat ini untuk menuntunnya kembali.

“...Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar....” (QS An-Nisaa (4):34)

Tahap yang pertama adalah perintah untuk mengajari dan memberi petunjuk dengan baik serta menyadarkan mereka dari kesalahannya. Dalam tafsirnya, Buya Hamka menegaskan bahwa suami yang baik akan menggunakan kata-kata dan sikap yang patut untuk membimbing istrinya.

Pesan lain yang disampaikan Buya Hamka kepada suami sebaiknya tidak boleh jenuh dan nyinyir. Sebab mendirikan dan menegakan ketentraman dalam berumah tangga bisa membutuhkan waktu puluhan tahun.

Untuk perempuan yang susah diajari dengan lisan, maka suami boleh mengambil sikap tegas “dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka”. Bisa jadi, hukuman ini tidak terlalu terasa bagi pasangan suami-istri yang telah menikah belasan hingga puluhan tahun yang telah malah lebih sering menghabiskan malam bersama anak-cucunya. Tapi, bagi pasangan yang usia pernikahannya masih muda, suami memisah tempat tidur karena menunjukan hati yang tidak senang merupakan ‘tamparan’ bagi seorang istri.

Namun, saat kedua cara sebelumnya benar-benar tidak mampu menyadarkan mereka, suami dibenarkan untuk memakai cara ketiga “dan pukullah mereka”.Buya Hamka menyadari bahwa ada kelompok perempuan intelektual yang mengecam kebolehan suami memukul istri. Namun, dalam kenyataannya, ada perempuan yang suka membesar-besarkan pertengkaran dengan suaminya dan baru menyadari kesalahannya setelah dipukul.

Meskipun demikian, menurut Buya Hamka para ulama dalam kitab fiqih sudah memberi batasan dan petunjuk memukul istri yang seperti ini. Seorang suami dilarang untuk memukul muka dan bagian badan yang akan merusak. Bahkan, Ibnu Abbas memberi keterangan semata-mata diperbolehkan memukul istri dengan menggunakan sikat gigi atau tongkat kecil dan tidak boleh membuat perempuan menderita. Bukan seperti memukul budak.

Sesungguhnya, memukul istri hanya diperbolehkan oleh Rasulullah S.A.W.  kalau sudah sangat terpaksa. Beliau tidak senang jika ada yang memanfaatkan kesempatan memukul istrinya. Singkatnya, memang ada peraturan Allah untuk memukul istri tapi dengan segala catatan yang sudah disebutkan sebelumnya. Maka dari itu, perempuan hendaknya berusaha bertutur kata dan bersikap agar tidak sampai suami menghukum dengan pukulan.

Kecemasan perempuan modern kini sudah lebih dulu ditangkap oleh Buya Hamka. Beliau menasihati untuk tidak usah risaukan perkara-perkara itu. Islam tidak memerintahkan orang sujud kepada selain Allah. Istri tidak diperintahkan sujud kepada suaminya. Jika laki-laki diperintahkan untuk berjihad secara fisik, maka Allah hanya memerintahkan kesetiaan perempuan kepada suaminya sebagai imbalan atas perjuangan suaminya di luar sana. Tanggung jawab keduanya sama-sama besar dalam bidang masing-masing.

Islam Tanpa Feminisme

Islam mengetahui dan menjaga kondisi fisik perempuan maka jangan sampai ia memikul hal yang tak dapat dipikulnya. Rasulullah pernah ditanya oleh seorang perempuan. Jika Allah memerintahkan laki-laki pergi jihad dan mendapat pahala dan kemuliaan dari jihadnya, apa yang akan didapat perempuan kalau selalu berjaga saja di rumah tangga?

Rasulullah pun menjawab bahwa taat dan setia kepada suami dan mengakui hak suami sama nilainya dengan perjuangan laki-laki di medan jihad.

Buya Hamka mengingatkan, sesungguhnya, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama melakukan pengorbanan. Laki-laki berkorban tenaga mencari nafkah untuk keluarganya di luar rumah sementara perempuan berkorban tenaga memelihara rumah tangga, melayani suami, dan mengurus anak-anaknya.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah: 71)

Ayat tersebut menjamin kedudukan yang sama antara mukmin laki-laki dan mukmin perempuan di hadapan Allah. Laki-laki dan perempuan sama-sama memikul kewajiban yang sama dan mendapatkan haknya. Keduanya sama-sama diperintahkan untuk tolong menolong kepada sesama, berbuat ma’ruf dan mencegah hal yang mungkar, menunaikan shalat, membayar zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dengan aturan Islam yang sedemikian rupa ini, tak perlu perempuan menyuarakan persamaan hak dengan laki-laki. Allah sudah memperhitungkan dan menimbang dengan adil hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.Islam sudah sempurna tanpa feminisme

“Apa lagi yang hendak Anda cari untuk membuktikan bahwa perempuan memang mendapat tempat yang istimewa dalam Islam?”  kata Buya Hamka

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement