Selasa 14 Apr 2020 10:28 WIB
Islam

Umat Islam, Saat Lebih Dewasa Dalam Beragama

Umat Islam Saat Lebih Dewasa Dalam Beragama

Santri Jawa mengaji
Foto: troppen musseum
Santri Jawa mengaji

REPUBLIKA.CO.ID, Muhlisin Ibnu Muhtarom,  Pendidik di Darunnajah Cipining, Alumni Pascasarjana UIKA Bogor dan Summer Course di Universitas Ummul Qura Makkah Al Mukarramah.

Pertanyaan retoris mengawali tulisan ini: Bukankah kita beragama untuk mendapatkan kemaslahatan dunia dan akherat?, Bukankah ibadah akan diterima jika hanya mengharap ridha Allah SWT (ikhlas) dan mengikuti tata-cara Rasulullah SAW (ittiba’) saja?.

Urutan mashlahat menurut Imam Ghazali: mashlahat mu’tabarah (dibenarkan oleh nash/dalil), mashlahat  mulghah (ditolak karena bertentangan dengan ketentuan syari’at), dan mashlahat mursalah (tidak ditemukan dalil khusus yang membenarkan atau menolaknya). (lihat Al Ghazali, al Musthashfa, Beirut: daarul Fikr, halaman 284-286). Kemaslahatan juga terbagi dua: mashlahah dharuriyah (inti/pokok) dan mashlahah ghairu dharuriyah (bukan inti).  Maqashid syari’ah (tujuan hukum Islam) merupakan mashlahat mu’tabarah yang menempati urutan paling atas dalam mashlahah dharuriyah yang berfungsi menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Seorang muslim diperintahkan berislam totalitas dan tidak mengikuti rayuan setan, (Al Baqarah [2]:208). Al Qur’an diturunkan bukan untuk membuat kesusahan, (Thaha [20]:2). Allah SWT menginginkan kemudahan dalam pelaksanaan agamaNYA dan tidak menghendaki kesusahan, (Al Baqarah [2]:185). Dalam bertaqwa, kita diperingatkan sesuai kadar kemampuan, (At Taghabun [64]:16). Kita tidak diberikan beban (taklif) kecuali sesuai kadar kemampuan, (Al Baqarah [2]:286).

 

Allah SWT cinta jika Rukhshakh/dispensasi dariNYA ditunaikan sebagaimana ‘Azimah/perintahNYA  dilakukan. Imam Thabrani meriwayatkan  dalam Mu’jam Kabir dan Al Bazzar dari Ibnu Abbas RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

إِنّ الله يحبّ أن تؤتى رخصه كما يحبّ أن تؤخذ عزائمه

Syahdan, tiga orang melakukan ibadah dengan ‘luar biasa’. Seorang dari mereka shalat sepanjang malam, lainnya berpuasa sepanjang tahun, ada juga yang menghindari wanita/tidak menikah karena ingin fokus ibadah. Demi mendengar hal tersebut, Rasulullah SAW menasehati agar tidak ghulluw (berlebihan): “Hai, apakah kalian tadi yang mengatakan demikian, kamu menyebut begini, begini?, ketahuilah, Aku adalah orang yang paling takut kepada Allah SWT dibanding dengan kalian. Aku juga orang yang paling taat kepada Allah SWT. Meski begitu, aku terkadang berpuasa, kadang juga tidak. Aku juga melaksanakan ibadah, shalat malam, namun aku juga tidur. Aku juga menikahi wanita. Menikah itu sunnahku, barang siapa membenci sunnahku maka bukan golonganku!”. (Shahih Bukhari, lihat Daaru Thuuqin Najaah, 1422 H, juz 7, halaman 2).

Fatwa MUI no 14 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah ditengah mewabahnya Corona merupakan panduan penting bagi umat Islam Indonesia agar kemaslahatan bersama bisa diwujudkan. Menurut penulis, Fatwa MUI Pusat sudah on the track untuk mencegah pandemi  Covid-19 yang menginfeksi  ribuan  orang dan menjadi asbab kematian ratusan jiwa. Menurut ahli kesehatan, penularan Corona melalui droplets atau tetesan cairan berasal dari batuk atau bersin, kontak pribadi (menyentuh dan berjabat tangan), dan menyentuh benda atau permukaan yang ada virus di atasnya, kemudian menyentuh mulut, hidung, atau mata sebelum cuci tangan.

Upaya pencegahan wajib menjadi kesadaran, pemahaman dan tindakan ihtiar optimal setiap orang karena pencegahan lebih baik daripada pengobatan, prevention is better than cure. Terlebih jika merujuk kaidah hukum itu didasarkan kepada keumuman lafadz bukan kekhususan sebab (al ‘ibratu bi’umuumil lafdzi laa bikhushuushis sabab), maka inilah sikap  muslim ideal pada musim pandemi global ini, seperti makna Hadits:  Muslim yang baik adalah jika  muslim lainnya terbebas dari (keburukan) mulut dan tangannya. (HR. Bukhari no 10, HR. Muslim no 40).

Kesimpulannya, dalam musibah Corona marilah kita laksanakan ajaran agama dengan lebih dewasa dan bijaksana: bagi muslim yang berada dalam red zone agar tidak melaksanakan Shalat Fardhu dan atau Shalat Jum’at berjam’ah di masjid sesuai kaidah mencegah kerusakan harus diutamakan daripada mengambil kemaslahatan (dar’ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih). Bagi yang berada dalam yellow zone jika masih melaksanakannya maka wajib memperhatikan dan mengaplikasikan protokol kesehatan. Adapun bagi yang berada dalam green zone tentunya agar istiqamah dalam ibadah, bahkan diintensifkan  muhasabah, taubat nasuhah, qunut nazilah dan istighatsah agar virus Corona segera sirna seiring kedatangan bulan Ramadhan mulia. Semoga!.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement