Senin 04 May 2020 08:25 WIB

Pulau Rubiah, Pusat Karantina Jamaah Haji Masa Kolonial

Pulau Rubiah merupakan tempat karantina haji pada masa kolonial.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
 Pulau Rubiah, Pusat Karantina Jamaah Haji Masa Kolonial. Foto: Pantai Rubiah Sabang
Foto: acehterkini.com
Pulau Rubiah, Pusat Karantina Jamaah Haji Masa Kolonial. Foto: Pantai Rubiah Sabang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbicara mengenai Aceh, rasanya tak lengkap jika tidak membahas seputar pulau Sabang. Kota ini memiliki sejuta keindahan bahari dan kaya akan sejarah.

Di Sabang, terdapat sebuah pusat karantina haji yang bisa menjadi salah satu destinasi wisata layak untuk dikunjungi. Sebuah gedung berdiri di tengah pulau Rubiah, Sabang, lokasinya sekitar 150 meter dari dermaga pulau.

Baca Juga

Pada masa awal pembangunannya, ada beberapa gedung yang dibangun di atas lahan seluas 10 hektar tersebut. Namun, saat ini hanya tersisa dua bangunan tua yang sudah tidak terawat, sedangkan bangunan lainnya telah lapuk oleh usia serta melewati berbagai fenomena.

Meskipun sudah tidak terawat, namun bangunan tua tersebut menyimpan sejumlah bukti sejarah tentang perhajian dan penerapan karantina di tanah air pada masa Hindia Belanda.

 

Sebab itu, istilah karantina haji bukan lagi hal baru di Indonesia. Di masa Hindia Belanda, jamaah yang akan berangkat dan pulang dari Makkah akan menetap dulu di pusat karantina selama lebih kurang 1 bulan.

Berdasarkan berbagai rujukan, ada dua lokasi karantina haji di masa itu, yaitu Rubiah dan Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, yang saat ini masuk dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Pulau Rubiah menjadi pusat karantina bagi jamaah haji Aceh dan daerah lainnya di Sumatera. Sedangkan Onrust, menampung jamaah haji di pulau Jawa.

Pusat karantina haji Pulau Rubiah, merupakan tempat karantina haji pertama di Indonesia dan termewah pada masanya. Bangunan di ujung barat Indonesia itu telah berdiri sejak masa kolonial pada tahun 1920 silam.

Pertengahan 2019 lalu, tim Kementerian Agama (Kemenag) Aceh berkesempatan melakukan observasi pusat karantina haji di Rubiah. Dalam kunjungannya, Kemenag Aceh menemukan gedung tersebut sudah tidak terawat dan telah ditumbuhi ilalang di sekitarnya.

Salah satu narasumber yang ditemui tim Kemenag Aceh, Teuku Yahya, merupakan salah satu keturunan pemilik sebagian tanah di pulau Rubiah. Ia menceritakan, awalnya bangunan yang dibangun pada zaman kolonial itu menyediakan berbagai fasilitas lengkap seperti penginapan, rumah sakit, laundri, kamar mandi dan listrik.

Saat itu, gedung karantina haji juga merupakan tempat transit bagi jamaah yang akan berangkat ke tanah suci melalui jalur laut. Jamaah terlebih dulu menginap di pulau Rubiah, baru nantinya akan diantar dengan kapal menuju kapal yang lebih besar.

"Gedung karantina haji ini dibangun memadati lebih dari setengah Pulau Rubiah, tersedia rumah sakit dan fasilitas laundry dalam gedung tersebut," kata Teuku Yahya, dalam keterangan yang didapat Republika, Senin (4/5).

Jamaah haji asal Indonesia masuk karantina lebih kurang 1-2 bulan sebelum keberangkatan ke Saudi. Kegiatan yang dilakukan dalam masa-masa karantina antara lain, manasik haji dan pemeriksaan kesehatan.

Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman mengatakan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan pusat karantina haji untuk kepentingan ekonomi dan politik. Gedung karantina haji dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh.

Ia menuturkan, Belanda tidak mau ambil pusing. Seluruh jamaah haji yang baru pulang diwajibkan karantina hingga ditetapkan statusnya terbebas dari wabah penyakit.

"Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antar negara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib," kata Albina.

Karantina diterapkan selama 40 hari. Durasinya jauh lebih lama dari proses karantina yang diterapkan selama wabah Covid-19 yang telah menyerang hampir seluruh negara di dunia saat ini.

Seiring berjalannya waktu, saat Jepang datang, Belanda terpaksa angkat kaki dari Sabang. Gedung karantina haji berubah menjadi barak tentara sehingga proses karantina haji di Aceh akhirnya terhenti.

Baru pada tahun 1944, Belanda kembali dan terjadi pertempuran dengan tentara Jepang. Beberapa bangunan pusat karantina haji hancur dihantam peluru Belanda.

"Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia. Tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan," ujarnya.

Sejak saat itu, pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun kota Sabang masih menjadi jalur pemberangkatan jamaah haji ke tanah suci hingga tahun 70-an melalui kampung haji.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement