Rabu 03 Jun 2020 00:14 WIB

Dirut Garuda Keluhkan Tes PCR Lebih Mahal dari Tiket

Tes PCR menjadi syarat wajib penumpang sebelum terbang.

Pesawat Garuda Indonesia lepas landas di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. Kini penumpang pesawat harus memiliki surat lulus tes PCR lebih dulu sebelum bisa terbang.
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Pesawat Garuda Indonesia lepas landas di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. Kini penumpang pesawat harus memiliki surat lulus tes PCR lebih dulu sebelum bisa terbang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengeluhkan tes Polymerase chain reaction (PCR) lebih mahal ketimbang tiket pesawat. Harga tes PCR bisa mencapai Rp 2,5 juta.

“PCR test yang 2,5 juta dan beberapa sudah menurunkan harganya, itu lebih mahal daripada biaya bepergian khususnya lokasi yang berdekatan, seperti Jakarta-Surabaya. Jadi, apalagi kalau bepergian tujuh hari yang berarti harus PCR dua kali dan bianya harus Rp 5 juta sementara perjalanan bolak balik hanya Rp 1,5 juta,” kata Irfan dalam webinar yang bertajuk “Kolaborasi Merespons Dampak Pandemi Covid-19 dan Strategi Recovery pada Tatanan Kehidupan Normal Baru di Sektor Transportasi” di Jakarta, Selasa (2/6).

Baca Juga

Pasalnya, surat keterangan bebas Covid-19 yang dibuktikan tes PCR merupakan syarat wajib bagi calon penumpang untuk bisa melakukan penerbangan.

Untuk itu, Irfan mengatakan pihaknya harus mengkaji kembali harga tiket pesawat agar masyarakat masih mau membeli dan tidak terbebani dengan mahalnya biaya tes PCR. Selain itu, maskapai juga wajib menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak antara penumpang dalam susunan tempat duduk di pesawat di mana mengurangi tingkat keterisian yang otomatis menurunkan pendapatan.

“Kalau physical distancing ini dipastikan dilakukan tentu kita harus peninjauan harga dari penerbangan tersebut,” katanya.

Irfan menambahkan di luar itu, proses pra-penerbangan juga semakin rumit dengan adanya pemeriksaan dokumen dan kesehatan. “Artinya, ke depan industri ini akan menghadapi penurunan drastis penumpang. Adalah kepentingan bersama, bersama regulator untuk memastikan ini butuh waktu. Kami mendapatkan konsesus, industri ini bisa recovery sebelum Covid-19 dalam masa dua sampai tiga tahun,” katanya.

Ia mengatakan masyarakat yang kerap kali sering melakukan penerbangan pun masih menunggu (wait and see) keadaan untuk kembali pulih.

“Situasi Covid ini juga membuka kita melihat peluang dnegan memahami perilaku costumer. Kami lakukan riset kecil-kecilan terhadap kita punya GA Miles dan dari riset ini berkeinginan tetap pergi. Tapi yang mengagetkan 65 persen dari responden menyatakan posisinya wait and see,” katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement