Rabu 03 Jun 2020 17:15 WIB

Proxy Turki-Rusia: Nasib Libya akan Seperti Suriah?

Konflik berkepanjangan di Libya tak lepas dari perang proxy Rusia versus Turki.

Rep: Arabnews/ Red: Elba Damhuri
Libya: Kendaraan terbakar di distrik bagian selatan Abu Salim, Tripoli, Libya, awal pekan ini, lantaran konflik yang melibatkan dua pemerintahan di negara itu.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Libya: Kendaraan terbakar di distrik bagian selatan Abu Salim, Tripoli, Libya, awal pekan ini, lantaran konflik yang melibatkan dua pemerintahan di negara itu.

REPUBLIKA.CO.ID --- Oleh Osama Al-Sharif*

Konflik Libya sudah berjalan sembilan tahun dan masih berlarut-larut yang kini dengan cepat berubah menjadi seperti konflik di Suriah --- yang ironisnya dimainkan dua aktor utama dari negara yang sama, Rusia dan Turki. Rusia dan Turki memegang kontrol kekuasaan dan mendukung dua sisi berlawanan di mana Rusia mendukung kaum kontra pemerintah sah.

Turki mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang sah yang diakui PBB. GNA telah mencetak beberapa keuntungan baru-baru ini terhadap pasukan yang bertempur di bawah panji Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin oleh Jenderal Khalifa Haftar. 

Kemenangan paling penting pemerintah Libya dukungan Turki adalah perebutan pangkalan udara strategis Al-Watiya, di pinggiran Tripoli lebih dari dua minggu lalu.

Jatuhnya pangkalan udara tersebut menandakan pembalikan nasib Haftar, yang setahun lalu meluncurkan kampanye militer untuk "membebaskan" Libya barat dari GNA setelah pembicaraan untuk mengimplementasikan kesepakatan politik telah gagal. 

Sebelum intervensi langsung Turki pada Januari, GNA tampaknya berada di ambang kekalahan, ketika pasukan Haftar telah menerobos distrik selatan ibu kota Tripoli.

Turki mengirim ribuan tentara bayaran Suriah ke Libya serta drone dan kendaraan lapis baja ---yang ini melanggar sanksi PBB. Di sisi lain, Rusia telah mendukung Haftar melalui kontraktor militer dan minggu lalu Moskow mengirim 14 jet tempur MiG-29 dan Su-24 ke pangkalan udara Jufra LNA di Libya tengah. 

Hal ini menjadi sangat penting untuk menjaga Haftar dalam perlawanan karena drone Turki telah berperan dalam menghancurkan pertahanan udara LNA. 

Konflik Libya telah melibatkan banyak pemain asing memihak, dengan Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA) mendukung Haftar. Sementara Turki, mendapat dukungan ragu-ragu dari Tunisia dan Aljazair, membela GNA di bawah Perdana Menteri Fayez Al-Sarraj.

Haftar mungkin telah merusak posisinya selama bertahun-tahun setelah muncul sebagai penguasa Libya timur yang tidak terbantahkan. Pada April, ia keluar dari Perjanjian Skhirat 2015 dan menyatakan dirinya penguasa tunggal Libya.

Ini adalah sebuah langkah yang dikutuk dunia internasional serta anggota parlemen yang berbasis di Tobruk. Sebaliknya, Aguila Saleh mengusulkan inisiatif untuk mencapai solusi politik untuk krisis.

Dengan mediasi PBB yang gagal untuk mengimplementasikan Perjanjian Skhirat dan mengakhiri keretakan antara Tripoli dan Benghazi, Turki dan sekarang Rusia menggunakan kekosongan ini untuk meningkatkan posisi mereka sendiri di negara kunci Afrika Utara itu. 

"Suriahisasi" dari krisis Libya tidak dibuat-buat. Recep Tayyip Erdogan dan Vladimir Putin sebelumnya bentrok di Suriah sebelum mencapai kesepakatan untuk bersama-sama mengelola krisis itu, setidaknya di bagian utara negara itu. 

Sekarang skenario yang sama sedang berlangsung di Libya dan itu menggarisbawahi kenyataan geopolitik baru, yang ditandai dengan kurangnya strategi AS dan Uni Eropa (UE) di Libya.

Itu membuat UE, tidak seperti yang diharapkan, terpecah sikapnya atas krisis di Libya. Prancis, tidak seperti Italia, sejalan dengan Rusia dalam mendukung Haftar. Namun, Prancis tidak dapat memberikan kebijakan yang jelas selain menggarisbawahi ancaman kekacauan di Libya atas kepentingan Eropa. 

Kegagalan kelompok-kelompok di Libya untuk menerapkan kesepakatan yang dicapai pada konferensi Berlin pada Januari lalu, untuk saat ini melumpuhkan setiap proses politik yang kredibel dan diakui. 

Bagi Washington, mendukung Ankara adalah salah satu cara mengimbangi meningkatnya pengaruh Rusia di Libya timur. Di sisi lain, keraguan Kairo tentang ikatan GNA dengan Ikhwanul Muslimin tidak akan berkurang dengan kehadiran Erdogan yang meningkat di negara tetangga.

Untuk saat ini, kemungkinan Turki dan Rusia bentrok langsung di Libya tampaknya masih jauhm bahkan tidak mungkin. Skenario yang lebih masuk akal adalah bahwa kedua kekuatan itu akan menemukan cara untuk memaksakan gencatan senjata, didukung oleh hampir semua pemain regional dan internasional.

Rusia dan Turki akan mengendalikan proksi mereka sambil berusaha mencapai pemahaman tentang menghidupkan kembali upaya politik. 

Inisiatif ini dapat memberikan dasar bagi upaya politik baru jika Haftar mencapai kesimpulan bahwa ambisinya untuk memerintah seluruh Libya tidak lagi masuk akal. Rusia dan Turki, yang tampaknya berada di kursi pengemudi sekarang, kini benar-benar menerapkan semua agenda mementingkan diri sendiri.

* Osama Al-Sharif adalah jurnalis dan komentator politik yang tinggal di Amman/Menulis untuk Arabnews.

sumber : Arabnews
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement