Kamis 04 Jun 2020 13:43 WIB

Catatan Evaluatif Pembatalan Berangkat Haji untuk Kemenag

Ada catatan evaluatif terkait keputusan batalnya pemberangkatan haji.

Ada catatan evaluatif terkait keputusan batalnya pemberangkatan haji. Ilustrasi pemberangkatan jamaah haji.
Foto: ANTARA/ARNAS PADDA
Ada catatan evaluatif terkait keputusan batalnya pemberangkatan haji. Ilustrasi pemberangkatan jamaah haji.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Arwani Thomafi* 

 

Baca Juga

Pemerintah melalui Kementerian Agama telah memutuskan untuk membatalkan pemberangkatan jamaah haji tahun 2020 ini melalui Keputusan Menteri Agama No 494/2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441 H/2020 M.   

Merujuk di konsideran keputusan tersebut, salah satunya, pembatalan penyeleggaran ibadah haji tahun ini dipicu oleh wabah Covid-19 yang hingga saat ini belum berakhir, ditambah hingga per 1 Juni 2020 lalu, Kerajaan Arab Saudi (KSA) belum membuka akses untuk penyelenggaraan ibadah haji.   

Keputusan pemerintah ini tentu dapat dimaklumi, khususnya oleh calon jemaah haji dan pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 ini. Kondisi obyektif mengenai wabah pandemi Covid-19 menjadi alasan utama pembatalan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 ini.  

Kendati demikian, pembatalan penyelenggaraan ibadah haji ini dari sisi prosedural menimbulkan riak misalnya hubungan antara parlemen dengan pihak pemerintah. Ini lantaran kesepakatan antara Kementerian Agama bersama DPR. Namun, masalah ini dapat segera diselesaikan dengan baik.   

Masalah lainnya, merujuk KMA No 494/2020 diktum kesatu yang menyebutkan pembatalan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 ini berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia (WNI) yang menggunakan kuota haji pemerintah dan visa haji mujamalah. 

Dalam keterangan resminya, Menteri Agama juga menegaskan tentang KMA tersebut. Bahkan, Menteri secara lugas meminta Kerajaan Arab Saudi untuk tidak mengeluarkan visa haji mujamalah atau ta’syirah al mujamalah (courtsey visa). Tidak hanya itu, Menteri Agama juga meminta kepada Kedutaan Besar Arab Saudi (KBSA) agar tidak mengeluarkan visa furoda. 

Langkah Kementerian Agama yang meminta agar KSA untuk tidak mengeluarkan visa haji mujamalah atau ta’syirah al-mujamalah merupakan sikap yang melampaui kewenangan. Sikap ini secara terang juga memiliki potensi melanggar prinsip diplomasi non-interference, yakni tidak diperkenankannya sebuah negara mengintervensi negara lainnya. 

Bila pun pemerintah RI sungguh-sungguh meminta KSA agar tidak menerbitkan visa mujamalah kepada WNI semestinya hal tersebut dilakukan Kementerian Luar Negeri yang menjadi leading sector dalam urusan diplomasi luar negeri, bukan Kementerian Agama. 

Bahkan, dalam pernyataan di media, Menteri Agama juga menyampaikan permohonan kepada Kedutaan Besar Saudi Arabia (KBSA) di Jakarta agar tidak mengeluarkan visa furoda. Pernyataan ini juga tampak salah alamat. Dalam kenyataannya, visa furoda itu tidak ada, yang ada hanyalah visa mujamalah. Di mana seluruh kebijakan mengenai visa hanya berada di otoritas pemerintaha KSA, bukan oleh KBSA yang berada di Jakarta.  Posisi KBSA tentu hanya issued saja atas perintah KSA. 

Dalam konteks ini, konsolidasi di internal pemerintah tampak kedodoran. Semestinya, sebelum mengeluarkan kebijakan sepenting ini, terlebih dahulu pemerintah melakukan koordinasi antarkementerian lembaga. Tak terkecuali dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji ini secara lebih menyeluruh.  

Masalah lainnya yang belakangan juga menjadi perhatian publik yaitu mengenai prosedur pengembalian dana calon jamaah haji. Termasuk informasi yang beredar luas mengenai penggunaan dana haji untuk kepentingan penguatan rupiah. Hal tersebut semestinya dapat dengan cepat terklarifikasi dengan baik oleh pemerintah. Persoalan dana haji menjadi isu sensitif di tengah publik, terutama bagi umat Islam. 

Yang utama dari pembatalan penyelenggaraan ibadah haji 2020 ini, calon jamaah haji tahun ini harus dipastikan terlayani dengan baik. Sistem informasi di Kementerian Agama agar beroperasi dengan maksimal supaya masalah-masalah yang menjadi pertanyaan publik khususnya calon jamaah haji dapat terkomunikasikan dengan baik.  

Solusi perbaikan

Persoalan haji pada akhirnya menjadi kerja kolosal seluruh pemangku kepentingan. Kementerian Agama sebagai leading sector di urusan ini dapat mengambil pelajaran penting dalam pengelolaan komunikasi, informasi dan koordinasi baik di internal maupun eksternal pemerintahan. 

Karena pada kenyataannya penyelenggaraan ibadah haji melibatkan banyak pihak mulai dari Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri, pemerintah KSA serta perwakilan Indonesia yang berada di Arab Saudi. Tak terkecuali para pemangku kepentingan (stakeholder) di dalam negeri.   

Kami mendorong Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama untuk memperbaiki komunikasi dan koordinasi baik dengan DPR, internal pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya  agar kebijakan pembatalan penyelenggaraan ibadah haji 2020 ini tidak menimbulkan persoalan baru di tengah-tengah masyarakat.  

Wabah Covid-19 telah menjadi alasan obyektif untuk membatalkan penyelenggaraan ibadah haji 2020 ini. Meski memaklumi, tentu tidak sedikit para calon jamaah haji yang kecewa dan sedih atas kondisi ini. Impian dan ikhtiar dengan menabung serta menunggu antrean yang panjang, namun dalam kenyataannya penyelenggaraan ibadah haji ditunda.  

Oleh karenanya, agar kekecewaan dan kesedihan tidak makin menumpuk, sepatutnya pemerintah memperbaiki komunikasi dan koordinasi secara maksimal.  Selain itu pelayanan kepada calon jemaah haji atas dampak pembatalan penyelenggaraan ibadah haji 2020 agar tidak diabaikan.

*Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement