Rabu 08 Jul 2020 14:12 WIB
Israel

Kenangan Beirut: Melacak Semangat Tempur Hamas Lawan Israel

Melacak akar yang perlawanan Hamas lawan Israel

Monumen  penyerangan Israel ke kamp pengungsi SabraShatila di Lebanon.
Foto: Google.com
Monumen penyerangan Israel ke kamp pengungsi SabraShatila di Lebanon.

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Beirut, ibu kota Lebanon, kota itu dibagi dua bagian utara dan selatan. Kota ini di pisahkan sebuah ruas jalan kecil yang berada di tengah yang kala perang Lebanon di masa lalu, disebut jalur perdamaian, atau jalur hijau.

Kota yang disebut 'Paris Timur Tengah'  memang penuh dengan ceweknya yang cantik-cantik, kalau di jalan ada 10 orang cewek yang cantik itu jadi 15 orang. Kota Beirut yang kontras terbagi dua, bagian utara yang sekuler dengan penduduk masyoritas Kristen Ortodok, Syiah Awalite, hingga Druze. Sedangkan di Beirut selatan suasana wilayahnya sangat Islami karena dihuni warga Islam yang mayoritas bermahzab Islam Syiah.

Di utara, terutama dekat pantai berserak bar dan pub. Pelayanannya juga cantik-cantik banget karena mereka kebanyakan dari Rusia dan Eropa Timur. Mereka rata-rata mirip boneka Barbie dengan mata kebiruan. Di kala siang hari ramai para perempuan berbikini berjemur di sepanjang pantai. Gereja yang berkubah besar dan mirip masjid bertebaran. Patung Yesus yang sangat besar mereka pajang di atas bukit yang juga dipakai warga berekreasi dengan naik kereta gantung. Poster papan iklan yang dipinggr jalan kebanyakan memajang foto perempuan berbusana aduhai dengan pose menantang.

Di bagian selatan sebaliknya. Suasana yang sekuler sama sekali tak terasa. Perempuan berjilbab hitam panjang adalah hal biasa (para padri dan biarawati) Kristen Ortodok juga berjilab hitam panjang. Cuma bedanya mereka di Lebanon memakai kalung salib di leher. Ciri khas bahwa mereka itu Kristen Timur atau Ortodoks adalah salibnya yang tak memakai gambar patung yang mirip Yesus seperti orang seperti kita biasa lihat pada Kristen Eropa (Katolik dan Protestan). Beda dengan Beirut Utara yang penuh poster perempuan aduhai, di wilayah bagian selatan ini penuh poster seruan jihad dari para petinggi Hamas. Gambar Imam Khoemeini banyak terpajang.

Great Runs in Beirut, Lebanon - Great Runs - Medium

Lalu apa ciri bila perempuan di Beirut Selatan itu didominasi penganut Islam Siah. Tanda itu terlihat dari warna jilbab yang mereka kenakan, yakni memakai warna hitam. Sedangkan perempuan Muslim yang bukan Syiah lazimnya memakai warna lain, misalnya putih. Apa mereka tidak moderen? Tak juga karena sebagaimana lazimnya orang Lebanon mereka fasih bicara Arab dan Prancis. Ingat Lebanon juga bekas jajahan Prancis -- dan beda dengan Indonesia yang lupa pada bahasa bekas tuan koloninya--  mereka tetap melestarikan bahasa Prancis.

Lagi-lagi, beda dengan Indonesia, negara itu memang sangat menghargai seniman. Nama penyanyi legendaris semacam Fairuz atau penyair Khalil Gibran sempat terlihat menjadi nama jalan dan plaza. Pada masa kini ada penyanyi Shakira, artis Amerika Gigi Hafidz, dan pendiri Apple, Steve Job, yang juga keturunan Arab Lebanon.

Akhirnya, suasana ngeri-ngeri sedap sempat saya rasakan. Di sebuah siang usai nongkrong dan makan es krim di pinggir pantai untuk lihat cewek-cewek cantik, saya meluncur ke Beirut Selatan ke kamp pengungsi Palestina Sabhra-Satila. Awalnya saya bayangkan tempat itu kumuh dan berantakan kayak lazimnya kamp para pengungsi bencana di Indonesia.

Tapi, ternyata tidak. Kamp Sabhra-Satila ternyata cukup lumayan. Tak ada tenda di sana, yang ada flat atau rumah susun. Di tempat itu sisa bangunan semasa kamp mereka di serang tentara Israel, sengaja disisakan sebagai kenangan. Burung derkuku banyak beterbangan. Anak-anak terlihat bergembira meski gambar di sekolah TK terasa ada trauma yang keras terasa karena hasil gambar mereka penuh suasana perang, tank, panser, bedil, dan bom. Sebagai pengingat mereka bila tanah mereka direbut Israel, di dinding sekolah peta tanah Palestina tanpa Israel mereka pajang besar-besar.

Oh ya, sebagai tanda mereka sangat benci Amerika Serikat, bendera negara milik paman Syam mereka jadikan keset atau alas kaki. Atau juga bila mereka tak punya keset itu, mereka tempelkan stiker bendara AS persis di lantai pintu masuk dengan maksud semua orang sebelum masuk rumah menginjaknya. Bedanya lagi, mereka gak dijuluki 'kadrun' gara-gara keturunan orang dari kawasan padang pasir Timur Tengah.

Remembering the Sabra and Shatila massacres

  • Keterangan Foto: Suasana kamp Palestina Sabra Stahila di Lebanon saat di serang tentara Israel melalui bom udara di tahun 1980-an.

''Are You Amriki,'' kata seorang pengungsi palestina di kamp Sabhra saat mereka tengah duduk bersama seraya bermain catur atau halma ala Arab. Tak cukup membentak setiap orang asing yang datang, mereka kerap mengucapkan itu sembari memegang kerah leher setiap orang asing yang datang ke tempatnya. Ini tanda kecil betapa mereka sangat benci sama Amerika yang dianggap sebagai negara 'bos' dari Israel.

Maka wajar bila sampai hari ini Hamas yang di dominasi Islam bermahzab Syiah di Palestina tetap  begitu teguh melawan Israel. Rupanya indoktrinasi sudah mereka lakukan dari kecil di berbagai rumah atau kamp semasa di Beirut Selatan (yang dikuasai Hezbullah) semasa mereka tinggal di massa kanak.

Itulah Lebanon dan Beirut yang ngeri-ngeri sedap.Sebab, selain musik dan hiburan, bom juga bisa meledak setiap saat. Dan Beirut memang tak semerdu dan seindah nyanyian biduanita legenda Lebanon, Fairuz.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement