Selasa 25 Aug 2020 22:41 WIB

Prilaku Bisnis Halal Terletak pada Moralitas dan Keadilan

Suap adalah memberi sesuatu sebelum hari H suatu kegiatan.

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Muhammad Fakhruddin
Prilaku Bisnis Halal Terletak pada Moralitas dan Keadilan (ilustrasi).
Foto: dok Republika/hiru muhammad
Prilaku Bisnis Halal Terletak pada Moralitas dan Keadilan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bisnis halal tak melulu soal transaksi bebas riba dan produk nonbabi atau alkohol, tetapi juga menghindari zalim. Meski kadang "kubangan kotor" tak bisa dihindari, kesadaran akan nilai inti halal bisa menjadi pegangan para pebisnis.

Presidium Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Ilham Habibie mengungkapkan, halal terkait bisnis memiliki konteks luas, tidak hanya produk dan bisnis, tapi juga perilaku pengusaha itu sendiri.

Dalam Islam, manusia tidak boleh melakukan yang jelas dilarang. Di konteks bisnis, kalau ragu halal atau haram dan hati yakin tidak ada unsur yang haram, proses bisnis bisa terus dijalankan. Buat Ilham, bisnis harus memiliki unsur keadilan. Kalau ragu tak adil, ia memberi lebih kepada rekan bisnis agar hatinya tenang.

''Sama seperti konversi materi dalam sains, tidak ada yang sempurna. Manusia punya hati. Rasakan adil atau tidak,'' kata Ilham.

Ia mencontohkan tender proyek. Kalau tender tersebut dimenangi dengan cara menyuap, hal itu jelas tidak adil. Kalau setelah menang kemudian si pemenang tender memberi hadiah penyelenggara tender, itu lain soal.

Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Muhammad Toha menuturkan, banyak korelasi persoalan moral yang tidak halal justru muncul saat berhadapan dengan proyek-proyek pemerintah. Toha memiliki usaha jasa kargo di Papua. Bisnis ini bebas dari proyek pemerintah yang kadang punya hubungan dengan aneka biaya "di bawah meja".

Dirinya pernah berbisnis ekspor-impor. Untuk bahan makanan, masa kedaluwarsa berlomba dengan pengurusan izin. Untuk menyelamatkan makanan dari kedaluwarsa, biaya-biaya di luar keharusan terpaksa dikeluarkan. ''Tapi tidak nyaman di hati, akhirnya saya tinggalkan. Di lapangan, ada saja yang tidak sempurna,'' kata Toha.

Mantan wakil menteri agama Nasaruddin Umar menjelaskan, bicara halal jangan membuat umat Islam terkungkung. Sebab, dalam Islam, yang dikategorikan haram lebih sedikit dari yang halal. Dalam bisnis, halal jangan menjadi pembatas kreasi.

Halal berarti benang kusut yang terbuka, haram justru tertutup (terbatas). ''Islam punya kaidah semua hal boleh kecuali hal-hal yang disebutkan haram. Jual-beli apa pun boleh kecuali riba dan barang tidak halal,'' kata Nasaruddin.

Perilaku bisnis halal juga terletak pada moralitas. Apa pun yang secara rasional baik, pada umumnya sesuai dengan nilai Islam. Rasulullah memberi kebebasan berkreasi, tetapi jangan akhirnya memudah-mudahkan. ''Intinya, yang halal adalah yang rasional dan baik secara umum. Haram yang sebaliknya, yang buruk dan secara moralitas berdampak negatif,'' kata Nasaruddin.

Allah SWT tidak membutuhkan halal-haram, tetapi manusia yang butuh itu untuk menunjang hidupnya. Titik tekannya pada moralitas. Kendali utama soal halam-haram ada pada diri sendiri. Karena itu, Quran banyak bicara soal keluarga dan individu.

Ia sepakat, saat muncul keraguan dalam menjalankan bisnis, berikan kompensasi. Ia menilai wajar jika manusia ragu. Saat sadar ada yang salah, balas dengan kompensasi berupa kebaikan. Keburukan masa lalu akan tenggelam dengan kebaikan yang berkesinambungan.

Untuk melakukan kebaikan dan mencegah keburukan, Rasulullah menyebut tiga cara, yaitu dengan kekuasaan, dengan lisan, dan membeci keburukan itu. Karena itu, ada maqasid syariah (pencapaian tujuan syariah) yang penerapannya terintegrasi dalam satu sistem dan yang konsisten dari hulu ke hilir untuk menghasilkan masyarakat ideal.

Kalau ada kemungkaran, jangan langsung ditegur karena justu akan membuat kemungkaran itu menjadi-jadi. Saat Islam diperkenalkan dengan lembut, yang terpikat lebih banyak. Akan berbeda kalau Islam ditampilkan secara keras.

Dalam banyak hal, Nasaruddin melihat banyak pengusaha yang paham substansi Quran dan hadis. Perlu ada perbandingan lurus antara kuantitas dan kualitas berislamnya seseorang.

Meski selalu ada celah buruk yang tak bisa sepehuhnya dihilangkan, ia menilai lebih baik mengisi ruang kosong dengan kebaikan dibanding tidak ada sama sekali. ''Apa yang tidak bisa diraih semua, jangan tinggalkan semua. Meski, harus ada batas penerimaan atas hal-hal buruk yang tidak mungkin dielakkan,'' kata dia.

Menuju ridha Allah SWT, perlu ada anak tangga. Jangan membiarkan keburukan tanpa ada usaha perbaikan. Nasaruddin mengatakan, kesalehan individu saja tidak cukup, dibutuhkan juga kesalehan komunal. ''Memang ada usaha lebih karena masyarakat perlu dipahamkan,'' ungkap Nasaruddin.

Ia juga mengingatkan pentingnya niat. Jika niat di awal sudah lurus dan di perjalanan ada "kecelakaan", itu bukan apa yang diniatkan.

Dalam Islam ada risywah (suap) dan hadiah. Suap adalah memberi sesuatu sebelum hari H suatu kegiatan. Sesuatu yang diberikan setelah kegiatan sebagai tanda terima kasih, itulah hadiah. Hanya saja, ia mewanti-wanti jika pengusaha memberi hadiah kepada penyelenggara tender atas proyek yang kontinu dan hadiahnya berlanjut sebagai jalan mengamankan posisi pemenang tender, itu risywah.

''Kalau niat baik kita kontinu, semoga (menjadi) bagian investasi keagamaan kita. Jangan sepelekan kebaikan kecil karena bisa jadi bermanfaat besar,'' katanya.

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Rabu, 09 Desember 2015

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement