Sabtu 12 Sep 2020 12:44 WIB

Protokol Kesehatan Umroh Dinilai Jadi Kebutuhan Mendesak

Protokol Kesehatan Umroh Dinilai Jadi Kebutuhan Mendesak.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Protokol Kesehatan Umroh Dinilai Jadi Kebutuhan Mendesak
Foto: Reuters
Protokol Kesehatan Umroh Dinilai Jadi Kebutuhan Mendesak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, mengingatkan jika protokol kesehatan penyelenggaran umroh di era pandemi merupakan kebutuhan mendesak. Protokol perlu segera diterbitkan agar saat nantinya umrah dibuka, tidak menjadi kluster baru penyebaran Covid-19.

Ia menyebut, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan ibadah haji dan umrah UU PIHU, memang tidak disebutkan norma penyelenggaraan umrah dalam menghadapi pademi covid 19. Namun dalam pasal 88 huruf b UU PIHU disebutkan hak jemaah mendapatkan layanan kesehatan.

Baca Juga

"Kesehatan dalam hal tersebut biasanya hanya mengacu pada layanan vaksin meningitis dan layanan kseshatan pada umumnya," ujar Mustolih saat dihubungi Republika, Jumat (11/9).

Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, dimana penyebaran virus Covid-19 menjadi persoalan negara di seluruh dunia, maka menjadi keniscayaan bila Kementerian Agama (Kemenag) sebagai regulator dan pengawas penyelenggaraan umrah, harus menyiapkan regulasi spesifik mengacu pada protokol Covid-19.

Proses pembuatan protokol, dapat dilakukan dengan melakukan koodrinasi bersama Kementerian Kesehatan  (Kemenkes) dan Komite Penanggulangan Covid-19.

Ia menegaskan, protokol diperlukan untuk melindungi calon jemaah umrah dan diterapkan dari sejak pendaftaran, manasik, pemberangkatan, proses ibadah sampai kembali pulang ke tanah air.

"Terpenting dari itu, harus ada norma atau klausul protokol umrah yang memuat sanksi secara tegas bagi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)," lanjutnya.

Mustolih menyebut, sanksi harus dibuat secara tegas dan disesuaikan dengan kadar kesalahannya. Jika tanpa penetapan sanksi, maka regulasi hanya akan menjadi 'macan kertas'.

Di sisi lain, ia berharap jangan sampai penyelenggaraan ibadah umrah memunculkan kluster baru penyebaran Covid-19. Dalam proses ibadah, jamaah umrah melawati berbagai tempat serta sangat berpotensi melakukan ienteraksi dengan masyarakat dari berbagai negara, yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu orang.

Penggunaan maskapai penerbangan sebagai bagian dari moda transportasi, membuat Kemenag harus menyesuaikan dan mengadopsi protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan maupun di area bandara.

"Dengan adanya koordinasi dan penyesuaian, protokol yang dibuat nanti bersifat komrehensif," ujar Mustolih.

Ia lantas menyadari, keberadaan protokol baru memiliki kemungkinan menimbulkan ketidaknyamanan bagi jemaah maupun PPIU. Namun hal tersebut adalah jalan yang harus ditempuh. Seluruh dunia saat ini sedang memasuki era adaptasi normal baru, termasuk sektor umrah.

Jika nantinya Kerajaan Arab Saudi memutuskan membuka kembali ibadah umrah, ia meminta Pemerintah Indonesia tidak langsung memutuskan langsung memberangkatkan jamaah. Ada beberapa aspek yang harus menjadi perhatian.

"Harus melihat situasi dan faktor-faktor lain, misalnya kesiapan PPIU, penerbangan, negara tujuan dan sebagainya. Terlebih saat ini ada 59 negara yang menolak kedatangan WNI karena lonjakan kasus Covid-19," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement