Jumat 25 Sep 2020 10:11 WIB

Pasokan Air Sungai Nil yang Membuat Bimbang Petani Mesir

Kisah rebutan aliran sungai Nil antara Sudan, Mesir, dan Ethiopia

Seorang anak laki-laki mengairi bibit padi sebelum dipindahkan ke pertanian yang lebih besar, di sebuah desa di kota Behira di Delta Nil, 300 kilometer (186 mil) utara Kairo, Mesir.
Foto: Al Arabiya
Seorang anak laki-laki mengairi bibit padi sebelum dipindahkan ke pertanian yang lebih besar, di sebuah desa di kota Behira di Delta Nil, 300 kilometer (186 mil) utara Kairo, Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Inilah kisah petani di tepian sungai nil, Hassan Abdel Salam. Dia setiap kali harus membuang banyak air di yang membanjiri kebun mangganya agar tanaman ini tetap hidup. Tapi dia tahu tidak ada alternatif lain.

Kemudian, petani dari Mesir utara itu belajar tentang irigasi tetes - menempatkan sedikit air di tempat yang dibutuhkan - melalui skema pemerintah yang baru. Sekarang pipa-pipa dengan lubang kecil mengular di sekitar lahan 10-feddan (10-acre) kebun mangga miliknya, meneteskan air langsung ke pangkal tiap tanaman.

Sejak mengadopsi metode tersebut pada awal tahun, pria berusia 53 tahun itu mengatakan bahwa pertaniannya di desa Mansouriya, dekat Giza, menggunakan setidaknya 25 persen lebih sedikit air, pupuk dan energi. Meski begitu panennya telah meningkat hampir 20 persen.

“Itu adalah keputusan yang sulit bagi saya pada awalnya karena saya tidak terbiasa dengan sistem baru,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation seperti dilansir dari Al Arabiya. “Tapi, ketika saya diberitahu oleh petani lain bahwa ini memiliki banyak manfaat, saya mulai menerapkannya dan ternyata bermanfaat, seperti yang saya diberitahu.”

 

Abel Salam adalah salah satu dari ratusan petani di bagian utara negara Mesir yang telah beralih ke alat penyiram hemat air dan irigasi tetes dalam tahap terbaru.  Dia mengikuti strategi pemerintah untuk mengurangi konsumsi air dan meningkatkan produktivitas pertanian.

"Mesir memang menderita kekurangan air yang signifikan, karena efek gabungan dari perubahan iklim, polusi, dan pertumbuhan populasi dengan meningkatnya kebutuhan air," kata para ahli air dan pembangunan.

A satellite image shows a view of the Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) and the Blue Nile River in Ethiopia on June 26, 2020. ( Courtesy Maxar Technologies via Reuters)

  • Keterangan foto: Gambar satelit menunjukkan pemandangan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) dan Blue Nile River di Ethiopia pada 26 Juni 2020. 

"Saat ini sebuah bendungan besar baru di hulu Sungai Nil di Ethiopia juga membuat akses Mesir ke air sungai Nil menjadi kurang pasti," kata para pejabat. Dan sampai kini negosiasi air sungai tersebut antara Mesir, Ethiopia, dan Mesir, belum menghasilkan kesepakatan tentang berapa banyak dan kapan bendungan PLTA sungai Nil itu dapat diisi dan dibuang.

Menurut badan statistik Mesir, sekitar 70 persen dari total air negara itu berasal dari bagiannya di Sungai Nil, yang berjumlah 55,5 miliar meter kubik setahun berdasarkan kesepakatan 1959 dengan bagian hulu Sudan.

"Petani Mesir menggunakan lebih dari 61 miliar meter kubik air pada tahun 2016/2017, menjadikannya sebagai konsumen air Sungai Nil yang terbesar," menurut badan tersebut.

Namun kesepakatan aliran Sungai Nil pada tahun 1959 kini tidak diakui oleh Ethiopia. Bahkan negara ini telah mulai mengisi waduk di balik raksasa Sungai Nil yang disebut, Bendungan Grand Renaissance.

Lebih banyak orang, lebih sedikit air

"Inisiatif irigasi baru pemerintah Mesir, yang diluncurkan pada Januari, adalah bagian dari rencana pengelolaan air 20 tahun yang lebih luas yang dimulai pada 2017," kata Mohamed el-Sebaei, juru bicara kementerian air.

Tujuannya adalah untuk mengubah 5 juta feddans  (penyiraman) menjadi irigasi tetes dan sprinkler. "Dan kini jumlahnya sudah naik dan sudah 1 juta petani yang saat ini menggunakan metode tersebut," katanya lagi.

Tanggung jawab untuk membayar, mengawasi dan memelihara peralihan ke sistem irigasi yang lebih modern berada di tangan para petani. Tapi untuk membantu, pemerintah menawarkan pinjaman yang bisa dibayar petani dengan mencicil, kata Sebaei.

Petani yang mengadopsi metode baru juga akan mendapatkan kartu pintar yang memberikan akses ke pupuk bersubsidi, pestisida dan benih. Melalui ini, kami ingin mendorong petani untuk melakukan transisi dan menurunkan biaya produksi pertanian mereka,” kata juru bicara tersebut.

Dari catatan organisasi pangan dan pertanian PBB menyatakan pertanian menyediakan pekerjaan untuk lebih dari setengah penduduk Mesir.

Abbas Sharaky, seorang profesor geologi ekonomi di Universitas Kairo, mengatakan jumlah tetap air yang disediakan dalam perjanjian pembagian air yang sekarang di Mesir memangterancam bahaya. Bersama negara Sudan saat ini Mesir mencoba mengatasi kekurangannya.

"Dengan populasi yang membludak dan pengelolaan air yang umumnya tidak efisien, volume air Nil tidak lagi cukup. Penduduk tumbuh dan permintaan meningkat, sementara pada saat yang sama porsinya sama,” kata Abbas Sharaky. 

Data dari Kementerirn Sumber Daya Air dan Irigasi menyatakan, konsumsi air di Mesir saat ini memiliki sekitar 570 meter kubik (150.000 galon) air per orang per tahun. Ini lebih dari setengah dari kebutuhan air di Mesir yang mencapai 1.000 meter kubik air.

"Maka Mesir harus bersiap untuk mengatasi kekurangan yang semakin meningkat. Pemerintah pun sedang membangun pabrik desalinasi air laut dan membangun fasilitas daur ulang air limbah, serta mempromosikan irigasi cerdas air," kata Sebaei kembali.

Sharaky mencatat bahwa meskipun alat penyiram dan irigasi tetes dapat menurunkan penggunaan air bagi banyak petani, teknik ini tidak dapat digunakan di pertanian yang menanam tanaman populer seperti gandum dan tebu.

“Metode baru hanya bisa diterapkan pada tanaman buah-buahan dan sayuran ... mereka tidak akan bekerja dengan tanaman lain yang haus air,” katanya.

Tantangan lain, tambah Sharaky, adalah meyakinkan petani agar mau membayar untuk beralih ke metode irigasi baru. “Petani yang sudah berjuang secara finansial dan meminta mereka membayar uang tambahan akan menambah beban mereka,” katanya.

Sayyed el-Azagi, seorang petani tomat di el-Kanater el-Khairia, sebuah kota beberapa kilometer di sebelah timur desa Mansouriya, belum beralih kepada sistem irigasi baru tersebut. Dia mengatakan bahwa itu terlalu mahal.

“Beralih dari irigasi banjir menjadi sprinkler atau irigasi tetes akan menghabiskan banyak uang dan saya menambah beban secara finansial bagi petani. Saya tidak akan pernah mampu membelinya, ”katanya kepada Thomson Reuters Foundation.

Pemerintah telah memberi kesempatan kepada para petani selama ini menggunakan metode irigasi yang lebih tua kepada yang baru. Ini diberikan dengan memberi masa tenggang satu tahun untuk pindah ke sistem baru itu atau menghadapi denda sebesar 3.600 pound Mesir ($ 230).

Menurut Sebaei, pindah ke irigasi tetes atau sprinkler membutuhkan biaya sekitar 5.000-7.000 pound Mesir ($ 315- $ 445) untuk setiap feddan.“Manfaat dari beralih ke metode baru ini banyak memberi keungtungan finansial,” katanya.

Abdel Salam, petani yang beralih di Mansouriya, mengatakan dia berencana untuk menyebarkan berita kepada petani lain tentang bagaimana metode tersebut telah mengubah pertaniannya.

“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Kami harus siap, ”ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement