Rabu 09 Dec 2020 06:14 WIB

Muhammadiyah Desak Segera Otopsi dan Olah TKP Tim Independen

Muhammadiyah menanggapi kematian enam anggota Front Pembela Islam (FPI)

Rep: Febrianto A Saputra/ Red: Elba Damhuri
Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar FPI saat akan meninggalkan RS Polri Kramat Jati di Jakarta, Selasa (8/12). Jenazah laskar FPI yang ditembak di Tol Jakarta-Cikampek itu telah selesai diautopsi dan telah diserahkan kepada pihak keluarga untuk dibawa ke rumah duka. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar FPI saat akan meninggalkan RS Polri Kramat Jati di Jakarta, Selasa (8/12). Jenazah laskar FPI yang ditembak di Tol Jakarta-Cikampek itu telah selesai diautopsi dan telah diserahkan kepada pihak keluarga untuk dibawa ke rumah duka. Republika/Putra M. Akbar

IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menanggapi kematian enam anggota Front Pembela Islam (FPI) yang terjadi usai bentrok dengan pihak kepolisian pada Senin (7/12) dini hari. 

Dalam pernyataan sikapnya, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, mengatakan bahwa kasus tersebut menjadikan catatan penegakkan hukum di Indonesia terasa kelam. 

"Karenanya, saat ini perlu disikapi secara sungguh-sungguh oleh para pengemban kepentingan khususnya para penegak hukum guna menjaga pola penanganan perkara yang menghindari khususnya penggunaan kekerasan senjata api yang hanya sebagai upaya terakhir, secara terukur sesuai SOP dan tepat sasaran, sebagaimana hukum yang berlaku," kata Trisno dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Selasa (8/12). 

Trisno mengatakan, tewasnya enam anggota FPI tersebut seolah pengulangan terhadap berbagai peristiwa meninggalnya warga negara akibat kekerasan dengan senjata api oleh petugas negara di luar proses hukum yang seharusnya dan melalui pengadilan. Sebelumnya peristiwa serupa juga menimpa Pendeta Yeremias Zanambani di Papua, kematian Qidam di Poso, dan lainnya. 

PP Muhammadiyah mendorong agar pengungkapan kematian warganegara yang tanpa melalui proses hukum yang lengkap perlu dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau tim independen yang sebaiknya dibentuk khusus oleh Presiden untuk mengungkap secara jelas duduk perkara kejadian sebenarnya.   

"Pembentukan Tim Independen seyogyanya diberikan mandat untuk menguak semua peristiwa di Indonesia dengan melakukan investigasi dan pengungkapan seluruh penggunaan kekerasan dengan senjata api oleh aparat penegak hukum, polisi dan atau Tentara Nasional Indonesia diluar tugas selain perang," ujarnya.  

Trisno menambahkan, adanya tim independen tersebut bukan hanya untuk kasus meninggalnya enam anggota FPI itu saja, melainkan juga untuk kasus serupa, sehingga dapat menjadi evaluasi terhadap kepatutan penggunaan senjata api oleh petugas keamanan terhadap warga negara di luar

ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu Tim Independen tersebut juga diharapkan beranggotakan unsur lembaga negara seperti Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, unsur masyarakat, serta unsur profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 

Selain itu, PP Muhammadiyah menilai penetapan TKP dan barang bukti serta pemeriksaan saksi-saksi segera diambil oleh Mabes Polri dalam hal ini Bareskrim Polri. 

Trisno mengatakan, apabila penggunaan kekerasan dengan senjata api dilakukan diluar prosedur yang telah ditetapkan maka pertanggung-jawaban hukum harus dilakukan tidak hanya secara etik tetapi juga secara hukum pidana, untuk disidangkan di pengadilan secara terbuka.  

"Fakta adanya enam anggota FPI yang meninggal akibat peristiwa ini, demi hukum perlu dilakukan otopsi dan olah TKP oleh tim Forensik Independen untuk mendapatkan keterangan ilmiah sebab kematian, waktu kematian dan arah peluru atau benda yang menyebabkan kematian," tuturnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement