Kamis 10 Dec 2020 05:11 WIB

Penembakan 6 Anggota FPI dan Pertaruhan Kepercayaan Polisi

Kepercayaan Polisi sebagai aparat profesional kini dipertaruhkan

Anggota Front Pembela Islam (FPI) mengadakan unjuk rasa untuk memprotes penembakan anggota mereka oleh polisi di Banda Aceh, Indonesia, 08 Desember 2020. Enam tersangka pendukung ulama Indonesia Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam , ditembak dan dibunuh dalam bentrokan dengan petugas polisi pada 07 Desember. 2020.
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Anggota Front Pembela Islam (FPI) mengadakan unjuk rasa untuk memprotes penembakan anggota mereka oleh polisi di Banda Aceh, Indonesia, 08 Desember 2020. Enam tersangka pendukung ulama Indonesia Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam , ditembak dan dibunuh dalam bentrokan dengan petugas polisi pada 07 Desember. 2020.

IHRAM.CO.ID, Oleh: Dr Ari Yusuf Amir, SH, MH, Praktisi Hukum dan Ketua Dewan Pembina LBH Yusuf.

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) bersama keluarga (anak dan cucu-cucu), ingin melaksanakan agenda keluarga, yaitu ritual sholat Subuh berjamaah di sekitar Karawang, Jawa Barat. Perjalanan keluarga inti HRS dikawal oleh anggota laskar FPI pada Senin dinihari (7 Desember).

Perjalanan rombongan tersebut rupanya dikuntit aparat kepolisian. Mereka menghadang rombongan di jalan tol Cikampek, dan kemudian terjadilah penembakan  terhadap enam anak bangsa itu.

Menurut versi kepolisian, sebagaimana disampaikan Kapolda Metro Jaya, anggota Laskar FPI melakukan perlawanan dengan senjata tajam dan dua pucuk pistol. Karena itu petugas kepolisian, mengambil tindakan tegas dengan menembak mati keenam anak bangsa dan warga sipil itu.

Penjelasan Kapolda Metro Jaya ini bukanlah sesuatu yang final dan tidak mungkin diamini secara taken for granted. Ini masalah serius. Ini masalah hilangnya nyawa enam orang warga sipil di tangan aparatur kepolisian.

Menkopolhukam harus bentuk Tim independen

Ada dua kelompok di masyarakat yang merespons peristiwa memilukan ini. Kelompok yang membenci dan resisten terhadap HRS dan FPI, termasuk beberapa media massa mainstream, mendukung tindakan kepolisian itu.

Mereka terkesan menganggap tindakan polisi sudah tepat. Kematian enam warga sipil dan anak-anak bangsa  di moncong senjata polisi dipandang pantas, tanpa melihatnya dari perspektif yang lain.

Kelompok kedua, termasuk pegiat media sosial yang bernafaskan semangat juang pada pembelaan hak-hak kemanusiaan, memiliki perspektif berbeda. Sekalipun ada di antara kelompok ini yang tidak suka dengan FPI dan HRS, namun mereka memandang tindakan aparat  kepolisian yang mengambil nyawa anggota Laskar FPI tersebut berlebihan. Dan juga tindakan yang kelewat batas, melawan hukum dan keadilan, serta menyebabkan krisis percayaan terhadap polisi dalam memegang kewenangan menciptakan Kamtibmas.

Dalam perspektif kelompok kedua inilah muncul wacana publik untuk mendorong dibentuknya Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) yang bebas dari anasir politik dan bekerja secara objektif.

TIPF ini sekaligus menjadi pembanding temuan Komnas HAM RI yang juga mengumpulkan fakta ihwal kasus ini. Tujuannya sama, yaitu untuk mengungkap kebenaran hakiki, dan siapapun yang bersalah harus dimintakan pertanggungjawaban hukum.

Semestinya tim ini dibentuk oleh Menkopolhukam. Anggotanya terdiri dari kalangan independen yang telah teruji kredibilitas dan keberaniannya, seperti akademisi, aktivis NGO, ulama, praktisi hukum dan dokter forensik. 

Formulasi tim pencari fakta ini serupa dengan TGPF pengungkapan kasus penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua, pada 17 September lalu. Hal ini sangat penting untuk membuktikan bahwa pemerintah berlaku adil kepada semua warga negara, sekalipun berbeda pandangan politik.

Hal terpenting yang harus diungkap ialah siapa yang bersalah, sesuai kebenaran fakta peristiwa. Jika tidak diungkap kebenarannya, maka peristiwa ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini, di mana aparat negara dapat melakukan kekerasan hingga menghilangkan nyawa warga tanpa konsekuensi apapun, seolah-olah polisi berada di atas hukum (above the law). 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement