Jumat 11 Dec 2020 05:10 WIB

Puisi Tradisional Uighur di Ambang Kepunahan (Bagian 1)

Puisi Uighur di ambang kepunahan karena pemerintah menahan dan membungkam penyair

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Muslim Uighur di Cina
Foto: Dokrep
Muslim Uighur di Cina

IHRAM.CO.ID, XIANJIANG – Beberapa pekan lalu, Mamutjan Abdurehim mencoba mengingat puisi yang dia dan istrinya gunakan untuk mengajari putri mereka berusia empat tahun. Bait yang berima itu mudah untuk mengingat instruksi tentang tata cara di meja makan. Seperti mengucapkan bismillah sebelum makan dan memulai dengan tangan kanan. Dia berharap dengan membantu putrinya melafalkan qoshaq, puisi tradisional Uighur, dia akan mengingat dari mana asalnya bahkan ketika keluarganya tinggal di luar negeri.

Kenangan seperti ini sangat berharga bagi Abdurehim yang tidak dapat bertemu atau berbicara dengan keluarganya di Xinjiang selama hampir lima tahun. Sekarang putrinya berusia sepuluh tahun dan putranya akan berusia lima tahun. Dia yakin, istrinya telah ditahan di kamp interniran atau dikirim ke penjara. Penjara tersebut menampung lebih dari satu juta orang Uighur yang terperangkap. Pembela hak asasi manusia mengatakan ini sebagai sebuah genosida yang dipimpn oleh negara.

Abdurehim saat ini tinggal di Sydney. Kerap kali dia bertanya kepada teman-temannya melalui laman Facebook apakah ada yang mengetahui sisa puisi yang dia coba ingat. Sayangnya, tak seorang pun dapat mengingatnya.

Beberapa budaya menghormati dan memasukkan puisi ke dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya orang Uighur. Puisi orang Uighur sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Menurut penyair dan peneliti, puisi Uighur sekarang di ambang kepunahan karena pemerintah Cina menahan dan membungkam para penyair.

Di luar China, orang Uighur menjadi diaspora. Mereka berjuang untuk membuat seni tetap hidup ketika pihak berwenang menggandakan kampanye mereka untuk mengasimilasi populasi minoritas Xinjiang ke dalam budaya Han Cina.

Puisi adalah aliran yang membuat Uighur terus maju

Selama beberapa dekade, puisi telah menjadi kehidupan sehari-hari bagi orang Uighur. Anak-anak diajarkan di sekolah dan didorong untuk menulis. Di pasar buku, volume puisi sering menjadi pilihan utama. Sebagian besar surat kabar distrik dan kabupaten menampilkan bagian bagi penduduk untuk menerbitkan puisi mereka. Penulis mengunggah sajak mereka di akun WeChat. Saat ini penyair terus menjadi salah satu tokoh publik paling berpengaruh dan terkenal di dunia berbahasa Uighur.

“Setiap generasi memiliki penyair dan gaya mereka sendiri serta menghasilkan sesuatu yang lebih baru. Ini hampir serupa dengan musik pop. Jika anda benar-benar penyair yang baik, anda hampir sepopuler penyanyi paling populer,” kata Penyair dan Aktivis Uighur, Fatimah Abdulghafur, dilansir The Guardian, Kamis(10/12).

Popularitasnya sebagian berasal dari kemampuan untuk menghindari beban penyensoran. Para penulis Uighur mendapat tekanan untuk memuji partai selama tahun-tahun fanatik Gerakan Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan Mao Zedong, periode di tahun 1980-an  yang memungkinkan generasi baru penyair.

Terinspirasi oleh Penulis Cina, Menglong yang kecewa dengan Revolusi Kebudayaan, penyair Uighur modern bercabang menjadi sajak bebas sarat dengan simbolisme. Selama penumpasan berkala dan kontrol pengetatan sepanjang tahun 1990-an dan 2000-an, puisi berkembang pesat di wilayah tersebut. Penyair Uighur menulis tentang kerinduan akan musim semi, simbol kebebasan, atau kehidupan baru.

“Puisi adalah aliran yang membuat kami terus maju,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement