Jumat 11 Dec 2020 05:50 WIB

Puisi Tradisional Uighur di Ambang Kepunahan (Bagian 3)

Diaspora Uighur berupaya menjaga puisi Uighur tetap hidup

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Muslim Uighur di Cina
Foto: Dokrep
Muslim Uighur di Cina

IHRAM.CO.ID, XIANJIANG -- Pemerintah Cina telah menangkap para penyair Uighur dan membungkamnya. Sementara para penulis diaspora yang berhasil kabur, melakukan upaya demi menjaga puisi Uighur tetap hidup. Di Turki, industri penerbitan merilis puisi dan karya yang sekarang tidak tersedia di Xinjiang. Seniman luar negeri membawakan puisi penyair Uighur yang sekarang dibungkam.

Pada 2018, Penyair dan Pembuat Film Tahir Hamut Izgil dan penulis lain mulai membentuk Persatuan Penulis Uighur Dunia. Izgil terus menulis dalam bahasa Uighur. Sedangkan Penyair dan Aktivis Uighur Fatimah Abdulghafur menerbitkan karyanya secara daring.

Terbebas dari kendala berada di Cina, penyair diaspora dapat menulis langsung tentang kehidupan Uighur di bawah pemerintahan Cina. Apa yang dapat mereka tulis saat ini bisa disebut sebagai literatur bebas luka.

Namun, beberapa pihak meragukan berapa lama puisi berbahasa Uighur dapat bertahan ketika dipisahkan dari 12 juta pembaca utamanya di Xinjiang. Sementara anak-anak Uighur yang menjadi diaspora, saat ini tumbuh dalam budaya dan bahasa baru. Generasi Uighur berikutnya di Cina didorong untuk berbicara bahasa Mandarin melalui bahasa ibu mereka.

“Puisi Uighur adalah jiwa bahasa Uighur. Jika jiwa bahasa Uighur mati, bahasa itu mati,” ujar Pemimpin Gerakan Baru dalam Puisi Uighur Modern pada 1980-an, Ekhmetjan Osman.

Lebih lanjut dia mengatakan semua inti dari kepercayaan masyarakat, cara berpikir, adat istiadat, sejarah, konstruksi masyarakat didasarkan pada bahasa. Jika bahasa lenyap, otomatis itu semua akan hilang.

“Kejahatan lain apa yang ada selain menghapus seluruh bangsa? Bagi saya tidak ada kejahatan yang lebih besar,” kata dia.

Banyak orang Uighur yang terpisah atau kehilangan anggota keluarganya, seperti yang dialami Mamutjan Abdurehim. Dia dan keluarganya tinggal di Malaysia. Pada akhir 2015, istrinya kembali ke Kashgar bersama anak-anaknya untuk memperbarui paspornya. Dia tidak dapat melakukan perjalanan kembali karena alasan keuangan dan pada 2017, dia menerima kabar bahwa istrinya telah dikirim ke kamp pendidikan.

Sebelum itu terjadi, Abdurehim telah memesan beberapa buku untuk dikirimkan kepada keluarganya di Kashgar, termasuk novel Sepatu Emas karangan Halide Isra\'il tentang pengalaman orang Uighur selama Revolusi Kebudayaan. Penyair dan penerbit terkemuka lainnya, Chimengül Awut yang mengedit buku tersebut kemudian dilaporkan telah ditahan bersama dengan penulisnya. Teman Awut mengatakan dia telah dibebaskan.

“Tepat setelah mengirimkan buku-buku itu untuk mereka baca, Revolusi Kebudayaan kedua dimulai. Saya bertanya-tanya apakah mereka diinterogasi. Saya selalu memikirkan itu,” kata Abdurehim, dilansir The Guardian, Kamis (10/12)

Karena tidak dapat melihat keluarganya, dia mengandalkan kenangan seperti mengajar puisi putrinya untuk membantunya mengingat bahasa bangsanya. Ia sesekali melihat anak-anaknya melalui video dari teman-temannya. Satu tahun lalu, putrinya berbicara dalam bahasa Uighur dengan seorang teman di jalan. Saat orang yang membawa kamera mendekat, dia beralih ke bahasa Mandarin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement