Jumat 05 Feb 2021 20:05 WIB

Menjelajahi Estetika Seni Islam

Menjelajahi Estetika Seni Islam

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
 Menjelajahi Estetika Seni Islam. Foto:  Thomas Whittemore kala memperbaki mosaik di Hagia Sophia.
Foto: duvarenglish.com
Menjelajahi Estetika Seni Islam. Foto: Thomas Whittemore kala memperbaki mosaik di Hagia Sophia.

IHRAM.CO.ID, ISTANBUL -- Abad 16 hingga abad 19 adalah puncak kejayaan seni ‘divan literatute’, atau lebih dikenal dengan puisi kekaisaran Ottoman. Puisi Ottoman Divan ini berisi pemikiran sang penyair, kritiknya pada stereotip sosial atau prosodi Arab. Materi yang konsisten ini memberikan penyair kemampuan untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan keaslian dalam struktur puisi, selanjutnya masuk dalam prinsip estetika yang menjadi dasar seni puisi.

Istilah estetika berasal dari kata Yunani kuno "aisthesis", yang berarti sensasi atau persepsi. Kata estetika secara non-konseptual dimulai dari era filsuf Althena Plato pada abad ke-18. Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), seorang mahasiswa dari filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz, adalah orang yang mengubah estetika menjadi disiplin dalam karyanya “Aesthetica”, diterjemahkan ke dalam bahasa Turki dalam proses Westernisasi Kekaisaran Ottoman pada akhir abad ke-19.

Baca Juga

Kata estetika, yang dibentuk oleh pandangan dunia yang muncul dari budaya Yunani-Latin, membuat keindahan seni budaya non-Barat tertutup dan membawa dampak yang buruk. Kata "jamal", yang berarti "keindahan" dalam bahasa Arab, digunakan sebagai kata yang setara untuk estetika dalam pemahaman seni Utsmaniyah, meskipun tidak diartikan secara tepat. Biasanya mengacu pada fitur-fitur yang dirasakan pada objek dan kasus, membentuk perasaan positif dalam jiwa manusia seperti menyukai dan menikmati sesuatu.

“Ilm al-Jamal” berarti “ilmu kecantikan” dan setara dengan kata “estetika” dalam bahasa Arab kontemporer, yang membahas topik-topik seperti sifat dan prinsip kecantikan, pola nilai artistik, dan teori kecantikan. Para intelektual Utsmaniyah pada periode Westernisasi menganggap estetika sebagai “ilm al-husn,” merujuknya pada ilmu kecantikan. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa estetika adalah falsafah seni rupa dan oleh karena itu disebut “hikmet-i bedayi”. 

 

Setelah 1912, kata bediiyyat, yang berasal dari kata Alquran "bedi" yang mengacu pada keunikan dalam ciptaan Tuhan, mulai digunakan dan menggantikan "hikmet-i bedayi". Akhirnya, kata "estetika" akhirnya juga masuk dalam bahasa Turki.

Filsuf Islam awal yang terkenal, Al-Farabi, mengatakan bahwa kecantikan yang utuh adalah milik Tuhan, dan keindahan makhluk ciptan-Nya hanyalah sebuah tanda kebesaran-Nya. Polymath Persia Ibn Sina, sering dikenal di Barat sebagai Avicenna, mengatakan bahwa kecantikan sejati adalah milik Tuhan dan menyebar ke alam semesta dari-Nya.

Penjelasan paling pertama dan paling luas dalam hal ini, seperti dalam setiap subjek lainnya, adalah milik filsuf Persia Al-Ghazali. Dalam karyanya “Ihya Ulum al-Din” (Kebangkitan Ilmu Religius), salah satu karya paling terkenal di dunia Islam, ia mencurahkan cakupan luas pada subjek kecantikan dengan judul Kitab Cinta, Kerinduan , Keintiman dan Kepuasan. Dia berpendapat bahwa setiap keindahan dicintai oleh mereka yang melihatnya hanya karena keindahan itu. Dan keindahan memberi kesenangan, yang merupakan sesuatu yang dinikmati. Al-Ghazali menekankan bahwa ketertarikan pada kecantikan tidak datang dari kenikmatan jasmani atau seksual saja; sebaliknya, kesenangan yang diberikan keindahan adalah sesuatu yang berbeda. 

Al-Ghazali menganut pandangan umum yang melihat keindahan dalam harmoni dan proporsional. Pemahaman ini memperoleh berbagai aspek Sufi di periode-periode selanjutnya. Misalnya, para sufi seperti Ibn Arabi dan Mawlana Jalaluddin Rumi mengemukakan banyak pandangan tentang keindahan ke arah ini. Semua interpretasi ini mengandung jejak berbagai budaya tetapi mengacu pada keyakinan, pemikiran dan pandangan dunia Islam. Karenanya, estetika dalam seni dibentuk dalam kerangka penjelasan Al-Ghazali.

Meski terdapat perbedaan antardaerah, namun prinsip-prinsip Islam tetap diterapkan pada semua produk seni Islam dalam dimensi yang berbeda-beda. Fakta bahwa berbagai teori estetika Islam tidak muncul secara akademis, tidak seperti di Barat. 

Dalam estetika Islam, seni adalah mengeksplorasi dan mengekspresikan kualitas dan keindahan yang sudah ada. Artinya, seniman bukanlah orang yang menciptakan keindahan, tetapi orang yang menemukannya. Bagaimanapun, seluruh makhluk dilukis dengan pewarna Allah. "... Dan siapa yang lebih baik dalam mewarnai selain Allah?" yang tertera dalam Al-Baqarah ayat 138.

Pada akhirnya, tujuan dalam seni Islam adalah untuk mencapai yang tak terlihat di balik yang terlihat dan tujuan luarnya adalah untuk mempercantik dunia. Terlepas dari semua latar belakang metafisiknya, seni Islam selalu ada dalam kehidupan. Dari perspektif seni ini, yang penting bukanlah melihat, tetapi merasakan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement