Senin 01 Mar 2021 14:06 WIB

Investasi Miras, Ekonom: Hanya untuk Wilayah Wisata

Perpes Miras bukan berarti pemerintah mendukung masyarakat minum alkohol.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolandha
Pemerintah resmi membuka keran investasi miras dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Pemerintah resmi membuka keran investasi miras dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah resmi membuka keran investasi miras dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Perpres ini menuai banyak penolakan dari masyrakat, organisasi Islam dan praktisi ekonomi.

Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah, masyrakat harus berhati-hati dalam menanggapi Perpres ini. Ia menilai Perpres ini bukan berarti pemerintah mendukung masyarakat untuk meminum alkohol. 

Baca Juga

Perpres ini membuka investasi minuman beralkohol tidak di seluruh indonesia. Pieter menjelaskan, investasi diizinkan apabila gubernur sebagai peminpin daerah mengajukan usulan.

"Kita hendaknya ingat bahwa meskipun negara kita mayoritas Muslim, tetapi ada daerah yang mayoritas non-Muslim dan ada daerah-daerah yang menyandarkan perekonomian mereka ke pariwisata mancanegara yang sangat dekat dengan minuman beralkohol," jelas Pieter kepada Republika.co.id, Senin (1/3).

Ia menambahkan, mendorong investasi minuman beralkohol juga bukan berarti mendorong masyarakat di daerah itu untuk mengkonsumsi alkohol. Hasil produksi minuman beralkohol, kata Pieter, bisa jadi diperuntukkan memenuhi kebutuhan para turis yang datang ke daerah tersebut. 

Baca juga : 9 Tanda Anda Mungkin Pernah Terkena Covid-19 tanpa Sadar

Adanya investasi bisa dapat mendorong ekonomi di wilayah tersebut. Pieter menilai, pembangunan industri minuman beralkohol pasti akan menyerap lapangan kerja, menumbuhkan industri hulu dan hilirnya, menciptakan multiplier effect.

Sementara itu, menjaga masyarakat untuk tidak meminum minuman beralkohol adalah konteks kebijakan yang lain. Ia menyarankan, kebijakan mengendalikan konsumsi minuman beralkohol bisa dilakukan dengan misalnya mengenakan cukai atau bahkan melarang masyarakat meminum minuman beralkohol. 

Ketentuan tersebut kemudian harus ditegakkan sepenuhnya, dengan adanya penegakan hukum. Hal ini dinilai lebih efektif mengendalikan konsumsi minuman beralkohol.

"Ketimbang kebijakan melarang investasi minuman beralkohol, tetapi produksi minuman beralkohol jalan terus. Masyarakat juga tetap bisa mendapatkan minuman beralkohol yang diproduksi secara traditional dan ilegal," kata Pieter.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement