Ahad 07 Mar 2021 03:05 WIB

Bisakah Bioskop Diganti dengan Layanan Streaming Digital?

90 persen penghasilan sebuah film berasal dari penjualan tiket di bioskop.

Bisakah Bioskop Diganti dengan Layanan Streaming Digital? Pengunjung berbincang saat akan menonton film di salah satu bioskop di Jakarta, Rabu (21/10/2020). Sejumlah bioskop di Ibu kota kembali beroperasi setelah mendapatkan izin dari Pemprov DKI Jakarta dengan jumlah penonton dibatasi maksimal 25 persen dari total kapasitas.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Bisakah Bioskop Diganti dengan Layanan Streaming Digital? Pengunjung berbincang saat akan menonton film di salah satu bioskop di Jakarta, Rabu (21/10/2020). Sejumlah bioskop di Ibu kota kembali beroperasi setelah mendapatkan izin dari Pemprov DKI Jakarta dengan jumlah penonton dibatasi maksimal 25 persen dari total kapasitas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama pandemi banyak rumah produksi yang memutuskan menjual filmnya ke layanan streaming digital. Hal ini dianggap cukup membantu walau tidak sepenuhnya bisa menopang biaya produksi.

Produser Miles Pictures Mira Lesmana mengatakan kehadiran layanan streaming digital saat pandemi memang menjadi media alternatif bagi rumah produksi dan juga penonton untuk menyaksikan film atau serial. Akan tetapi, hal ini tidak cukup kuat memberikan penghasilan atau mengganti biaya produksi apalagi jika pembuatan filmnya memakan biaya banyak.

Baca Juga

"Sekarang ada digital platform tapi tidak mencukupi untuk menopang industri kita. Bisa membantu tapi tidak mencukupi, jadi kita butuh sekali bioskop," kata Mira saat dihubungi Antara, Sabtu (6/3).

Mira mengatakan penghasilan sebuah film 90 persen berasal dari penjualan tiket di bioskop. Jika bioskop tutup, maka tidak ada penghasilan untuk mengganti biaya produksi.

Film-film dengan biaya produksi yang besar akan sulit bertahan jika terus memilih jalur digital. "Kalau yang besar sekali langsung dibawa ke digital platform, digital platformnya nggak akan kuat dan kitanya juga jadi tidak tertutup biayanya," ujar Mira.

Menurut Mira, platform digital bisa dimanfaatkan untuk film dengan biaya produksi yang tidak besar. Akan tetapi, hal ini juga akan berpengaruh pada kualitas filmnya.

Hal ini sangat disayangkan jika dilakukan terus-menerus sebab kualitas film Indonesia sudah mulai diperhitungkan dunia. "Mau tidak mau skalanya mengecil, padahal kita sudah ada di posisi yang berbeda nih, kita jadi mundur kan. Bukannya nggak bisa atau nggak boleh, tapi kita sudah mau melaju, menyaingi berbagai pasar," ujar Mira.

Pada 2019, Indonesia masuk dalam 10 besar pasar film internasional. "Bukannya tidak bisa mengecilkan tapi kita akan mundur, enggak bisa lagi jadi pesaing di sana. Ini yang kita takutkan kalau tidak ditopang semua yang sudah kita push 4-5 tahun terakhir ini dan itu akan sia-sia dan harus bangun dari nol lagi," ujarnya. 

Hal ini ditunjang dengan kualitas dan biaya produksi yang besar sehingga mampu bersaing dengan film-film internasional. "Kemarin kita punya nilai produksi sudah tinggi sekali ya, film yang kita buat itu kelasnya sudah menyaingi dunia internasional, menuju ke sana walau belum sebesar Hollywood tapi sudah memperlihatkan kehebatannya," kata produser film Kulari ke Pantai itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement