Senin 08 Mar 2021 22:39 WIB

PGI Kritik Dihapusnya Frasa Agama

PGI Sikapi Dihapusnya Frasa Agama

Rep: zainur mahsir ramadhan/ Red: Muhammad Subarkah
Siswa Madrasah Ibtidayah (MI) Darul Ihsan beraktivitas di sekolahnya di Kampung Bangir, Dampal Selatan, Tolitoli, Sulawesi Tengah.
Foto: Dompet Dhuafa
Siswa Madrasah Ibtidayah (MI) Darul Ihsan beraktivitas di sekolahnya di Kampung Bangir, Dampal Selatan, Tolitoli, Sulawesi Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA — Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Henrek Lokra mengkritik peta jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang menghilangkan Frasa agama. Menurut dia, frasa budaya dan akhlak tidak bisa menggantikan frasa agama itu sendiri.

‘’Agama tidak bisa diwakilkan, agama ada di ruang yang tak tergantikan, itu ruang sakral,’’ ujar dia kepada Republika, Senin (8/3).

Menurut dia, PGI berpendapat jika agama harus lebih menekankan pada budi pekerti. Sehingga, agama tidak diartikan sebagai penekanan pada doktrin, apalagi berteologi dan menentukan pandangan.

‘’Pendidikan keagamaan lebih tepat diberikan keleluasaan pada lembaga keagamaan yang lebih memahami doktrin atau dogma keagamaannya,’’ ucap Henrek.

Diketahui, dalam draf terbaru, frasa agama dihapus dan digantikan dengan akhlak dan budaya. Menanggapi hal tersebut, tokoh-tokoh lintas agama mulai bereaksi.

"Tokoh agama, termasuk Ormas, MUI, sangat terkejut dengan konsep ini. Sementara, kami di satu sisi, menginginkan dan senantiasa menyosialisasikan umat agar menjadi umat yang taat beragama," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Pendidikan dan Kaderisasi KH Abdullah Jaidi.

Kiai Abdullah Jaidi mengatakan, agama merupakan tiang bangsa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang didasarkan pada agama dan menjalankan syariatnya menurut agama masing-masing. Tanpa adanya agama, bangunan atau pendidikan yang sudah berjalan akan jatuh dan roboh.

Serupa dengannya, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir juga mengkritik Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang diluncurkan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia mengatakan, Peta Jalan Pendidikan Nasional tidak sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945.

Dalam draft terbaru, Haedar menemukan hilangnya frasa 'agama' merupakan bentuk melawan konstitusi (inkonstitusional). Menurut hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di atasnya, yakni peraturan pemerintah, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UUD 1945, dan Pancasila.

Lebih jauh, Ketua Kehormatan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Uung Sendana, juga mengkritik Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Menurut dia, bagaimanapun frasa akhlak dan budaya sangat berbeda dengan agama.

‘’Meskipun itu saling mempengaruhi,’’ ujar dia kepada Republika, Senin (8/3).

Dia menambahkan, frasa budaya memang dipandang baik, khususnya demi pendidikan yang berkebudayaan. Namun, mengenai frasa akhlak, ia menyarankan agar diperbaiki menjadi pendidikan agama dengan penekanan pada akhlak mulia atau budi pekerti luhur.

‘’Karena akhlak mulia atau budi pekerti luhur pun berkaitan erat dengan nilai-nilai kebajikan dalam agama,’’ jelas Ketum Matakin 2014-2018 itu.

Uung menyatakan, pendidikan agama di Indonesia sangat diperlukan. Meskipun, titik berat pengajaran ia sarankan untuk diubah.

‘’Hal ini selaras dengan Indonesia sebagai negara beragama, bukan sekuler atau teokratis,’’ ucapnya.

Ketika ditanya sikap menyoal Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang diluncurkan Kemendikbud, ia tidak mengamininya. Sebaliknya, Uung setuju dengan pendapat Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement