Sabtu 17 Apr 2021 08:36 WIB

'Stigma Jadi Kendala Pemulihan Anak Korban Terorisme'

Ada 101 anak yang orang tuanya terkait dengan kasus teror bom bunuh diri di Makassar.

[Ilustrasi] Petugas kepolisian berjalan di sekitar rumah terduga teroris usai penggerebekan di Kecamatan Biringkanaya, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (15/4/2021). Tim gabungan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti teror Mabes Polri bersama Polda Sulsel menembak mati seorang terduga teroris jaringan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar karena melawan saat penggerebekan.
Foto: ANTARA/Abriawan Abhe
[Ilustrasi] Petugas kepolisian berjalan di sekitar rumah terduga teroris usai penggerebekan di Kecamatan Biringkanaya, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (15/4/2021). Tim gabungan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti teror Mabes Polri bersama Polda Sulsel menembak mati seorang terduga teroris jaringan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar karena melawan saat penggerebekan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) mengemukakan stigma masyarakat terhadap anak dari pelaku terorisme menjadi salah satu kendala pemerintah dalam upaya memulihkan mereka dari paparan radikalisme. Stigma itu adalah anak tersebut adalah anak yang harus dihukum

"Masyarakat masih melihat anak-anak ini adalah pelaku yang harus dibinasakan, bukan dibina karena (masyarakat menganggap, red.) mereka calon teroris," kata Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian PPPA Elvi Hendrani dalam acara bincang-bincang mengenai anak korban jaringan terorisme di Jakarta, Jumat (16/4).

Baca Juga

Padahal, kata dia, anak-anak tersebut korban dari pola asuh orang tua yang salah.Selain itu, katanya, masyarakat juga cenderung enggan menerima kembali anak-anak ini di kampung atau desa mereka.

"Stigma karena pelabelan dari orang tuanya. Anak jadi tidak diterima lagi oleh keluarganya, kampungnya," tutur dia.

Untuk itu, katanya, pemerintah kemudian mengganti identitas sejumlah anak korban jaringan terorisme agar mereka bisa hidup normal di masyarakat setelah dibina melalui program deradikalisasi. Kementerian PPPA siap membantu Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri untuk merehabilitasi 101 anak yang orang tuanya terkait dengan kasus teror bom bunuh diri di Katedral Hati Yesus Yang Maha Kudus Makassar, Sulawesi Selatan.

Namun, belum diketahui jadwal ratusan anak ini akan diterbangkan ke Jakarta. Rencananya, 101 anak ini akan dibawa dari Makassar ke Jakarta guna menjalani program deradikalisasi.Upaya deradikalisasi dan memulihkan psikis anak-anak ini, juga akan melibatkan sejumlah kementerian atau lembaga, yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani di bawah Kementerian Sosial. 

Elvi menyebut anak-anak yang terpapar radikalisme ini rentang usianya satu hingga 14 tahun. Mereka adalah anak-anak dari para orang tua yang menjadi pelaku dan terduga pelaku yang terlibat teror bom bunuh diri di Katedral Makassar beberapa waktu lalu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement