Selasa 18 May 2021 12:37 WIB

Bagaimana Kekerasan di Palestina Pengaruhi Ekonomi Global?

Kondisi di Palestina dikhawatirkan berlanjut dalam rangka perang total.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Serangan Israel membuat puluhan bangunan di Gaza, Palestina rusak (ilustrasi). Kondisi di Palestina saat ini bakal mempengaruhi ekonomi global dari berbagai aspek.
Foto: Middle east eye
Serangan Israel membuat puluhan bangunan di Gaza, Palestina rusak (ilustrasi). Kondisi di Palestina saat ini bakal mempengaruhi ekonomi global dari berbagai aspek.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi di Palestina mempengaruhi ekonomi global dari berbagai aspek. Secara global, naiknya eskalasi kekerasan di Palestina berdampak pada prospek pemulihan ekonomi di kawasan Timur Tengah.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan kondisi di Palestina dikhawatirkan berlanjut dalam rangka full scale war atau perang total. Ini akan menarik negara-negara di Timur Tengah terlibat lebih dalam.

Baca Juga

"Padahal bagi kepentingan Indonesia, pasar Timur Tengah seperti negara sekitar konflik yakni Mesir, Yordania, Arab Saudi dan Lebanon cukup menarik untuk di dorong terutama untuk produk otomotif, elektronik, hingga makanan minuman," katanya pada Republika.co.id, Selasa (18/5).

Nilai perdagangan total ke empat negara tersebut menembus sekitar dua miliar dolar AS dari periode Januari-Maret 2021. Di pasar komoditas, harga minyak ikut meningkat ke 69,7 dolar AS per barel untuk brent karena kekhawatiran berlanjutnya kekerasan di Palestina.

Sementara, pencarian safe haven atau aset aman berupa emas membuat harganya melonjak 3,89 persen dalam sebulan terakhir ke level 1.846 dolar AS per ons. Di sisi lain, secara global kondisi yang terjadi di Palestina menjadi tes bagi kepemimpinan Presiden AS, Joe Biden.

"Apakah kebijakan luar negeri AS akan berubah, ini yang jadi pertanyaan utama bagi pelaku usaha," katanya.

Masih banyak ketidakpastian juga khususnya terkait langkah negara AS, China dan Rusia yang akan mempengaruhi ekspektasi investasi dan ekspor ke Timur Tengah. Termasuk di Indonesia yang sikapnya dinilai masih membingungkan.

Bhima mengatakan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 sempat mengeluarkan pernyataan dalam penutupan Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerjasama Islam. Jokowi mengatakan bahwa OKI perlu meningkatkan tekanan terhadap Israel melalui sejumlah langkah konkret, salah satunya dengan memboikot produk israel yang dihasilkan di wilayah pendudukannya.

Namun hingga saat ini langkah itu belum konkrit. Buktinya, nilai perdagangan Indonesia-Israel masih tinggi bahkan surplus. Total nilai perdagangan Indonesia dan Israel tercatat 50,6 juta dolar AS dengan total ekspor 47,5 juta dolar AS.

Meskipun Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik secara resmi, faktanya secara perdagangan jumlah ekspor ke Israel bahkan lebih besar dari Iran dan Kuba. Nilai ekspor Indonesia ke Iran mencapai 26,9 juta dolar AS, sementara ke Kuba sebesar 3,7 juta dolar AS.

"Sudah lama teriak boikot tapi tidak konkrit, masyarakat diminta boikot, negara lain juga diminta boikot, tapi pemerintah masih izinkan ekspor impor ke Israel, itu secara logika kurang pas, ini cukup membingungkan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement