Ahad 06 Jun 2021 10:39 WIB

Mengapa Garuda Indonesia Rugi?

Garuda Indonesia mendapat sorotan tajam terkait kinerja dan beban utang.

Rep: M Nursyamsi/ Red: Elba Damhuri
Pekerja cargo menurunkan Envirotainer berisi vaksin COVID-19 Sinovac dari pesawat Garuda Indonesia setibanya dari Beijing di Terminal Cargo Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (2/3/2021). Sebanyak 10 juta dosis vaksin COVID-19 Sinovac dalam bentuk curah kembali tiba di Indonesia, yang selanjutnya akan dibawa ke Bio Farma untuk diproduksi.
Foto: ANTARA/Muhammad Iqbal
Pekerja cargo menurunkan Envirotainer berisi vaksin COVID-19 Sinovac dari pesawat Garuda Indonesia setibanya dari Beijing di Terminal Cargo Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (2/3/2021). Sebanyak 10 juta dosis vaksin COVID-19 Sinovac dalam bentuk curah kembali tiba di Indonesia, yang selanjutnya akan dibawa ke Bio Farma untuk diproduksi.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Maskapai kebanggaan Indonesia, Garuda Indonesia, mendapat sorotan tajam terkait kinerja dan beban utang. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN, menyiapkan sejumlah langkah untuk memperbaiki dan membenahi Garuda.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, beban terbesar PT Garuda Indonesia (Persero) selama ini terletak pada perusahaan penyewa pesawat atau lessor. Erick menyebut Garuda memiliki kontrak penyewaan pesawat dengan 36 lessor.

"Ada 36 lessor yang harus dipetakan ulang," ujar Erick saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR di gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/6).

Manajemen Garuda, kata Erick, harus melakukan negosiasi keras dengan lessor yang bekerja sama dalam sejumlah kasus koruptif sebelumnya. Sementara untuk lessor yang tidak terkait dengan kasus, Erick mendorong manajemen untuk mengajukan negosiasi ulang.

Beban kedua terbesar Garuda, kata Erick, ialah model bisnis. Erick meminta Garuda berani mengubah model bisnis pascapandemi dengan fokus menggarap pasar penerbangan domestik.

Selama ini 78 persen penumpang Garuda disumbang oleh pasar domestik, sementara 22 persen sisanya baru diisi penumpang penerbangan internasional.

Erick menyoroti kebijakan yang kerap berubah dan tidak menguntungkan Garuda Indonesia. Oleh karena itu, Erick telah berbicara dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi terkait optimalisasi bandara dan rute penerbangan dalam negeri di Indonesia. 

"Kita sudah banyak bicara dengan Menhub dan beliau mendukung bagaimana nanti bandara-bandara di Indonesia ya memang tidak semuanya bisa open sky untuk pesawat asing," ungkap Erick. 

Terlebih, kata Erick, di tengah kondisi pandemi saat ini yang sangat rawan apabila semua bandara dibuka untuk penerbangan internasional. 

Erick mencontohkan Amerika Serikat dan China yang hanya membuka beberapa bandara untuk penerbangan internasional, sementara untuk rute-rute domestik diharuskan menggunakan maskapai dalam negeri.

"Nanti dari bandara titik yang dibuka itu bisa menyebar ke banyak kota, tapi untuk dalam domestik hanya Garuda atau penerbangan swasta (yang diperbolehkan)," kata Erick. 

Restrukturisasi Garuda

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, Kementerian BUMN secara intensif telah berbicara dengan manajemen, termasuk pemegang saham minoritas dan Kementerian Keuangan dalam proses restrukturisasi PT Garuda Indonesia. Restrukturisasi ini diharapkan mampu mengurangi utang perusahaan.

Pria yang akrab disapa Tiko itu menyampaikan saat ini manajemen Garuda bersama Kementerian BUMN sedang merumuskan pola dan proses legal. Ini mengingat proses restrukturisasi akan melibatkan lessor dan peminjam dalam bentuk global sukuk bond yang dimiliki Timur Tengah.

Kementerian BUMN dan manajemen Garuda, kata Tiko, saat ini telah menunjuk konsultan hukum dan keyakinan segera memulai proses restrukturisasi agar segera melakukan moratorium kontrak dalam waktu dekat.

Tiko berharap upaya restrukturisasi nantinya mampu menurunkan cost atau beban biaya Garuda hingga 50 persen agar maskapai pelat merah tersebut tetap mampu bertahan pascapandemi.

"Mau tidak mau, struktur biaya harus dipotong lebih rendah. Sebagai informasi, Garuda punya cost per bulan itu 150 juta dolar AS, sementara pendapatannya 50 juta dolar AS, jadi utang 100 juta dolar AS setiap bulan," ucap Tiko.

Tiko berharap dalam waktu 270 hari setelah moratorium, Garuda mampu menyelesaikan proses restrukturisasi. 

Tiko tak menampik proses restrukturisasi memiliki risiko apabila kreditur tidak menyetujui dan mengajukan tuntutan legal terhadap Garuda yang pada akhirnya bisa menjadikan Garuda menuju kebangkrutan.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra memastikan saat ini tengah mengupayakan pemulihan kinerja perusahaan. Saat ini, Garuda Indonesia tengah dihadapkan dengan kondisi yang sulit setelah terimbas penurunan trafik penerbangan karena kondisi pandemi Covid-19.

Irfan menambahkan, Garuda Indonesia juga akan memaksimalkan berbagai program strategis yang tengah dijalankan saat ini. Seperti diketahui, dengan adanya penurunan trafik penumpang, Garuda Indonesia mulai memaksimalkan penerbangan kargo dengan memunculkan rute baru.

Kondisi Garuda Indonesia saat ini juga memaksa perusahaan memilih opsi dengan menawarkan pensiun dini bagi karyawan. 

Irfan menyampaikan apresiasi atas segala bentuk pendapat yang dikemukakan oleh pihak pihak terkait, khususnya mengenai kondisi Garuda Indonesia melalui kanal yang beragam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement