Senin 14 Jun 2021 00:09 WIB

Ikappi: Apapun Argumennya, Pedagang Kena Dampak Negatif

Ikappi menolak rencana PPN terhadap sembako apapun alasan pemerintah.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ratna Puspita
Pedagang sembako dan sayuran melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021). Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, dengan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 13 kategori bahan pokok.
Foto: ANTARA/ADENG BUSTOMI
Pedagang sembako dan sayuran melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021). Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, dengan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 13 kategori bahan pokok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) tetap menolak rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sembako. Meskipun pemerintah mengklaim, kebijakan itu diarahkan pada produk-produk yang dikonsumsi kalangan menengah ke atas, Ikappi menilai pedagang akan menjadi pihak yang terkenda dampak. 

Ketua Umum Ikappi, Abdullah Mansuri, mengatakan, saat ini omzet pedagang mengalami penurunan 50-60 persen akibat pelemahan daya beli masyarakat. Kebijakan PPN sembako dipastikan akan menggerus omzet pedagang karena harus menanggung pajak yang akan berdampak pada naiknya harga atau berkurangnya keuntungan. 

Baca Juga

"Pihak yang akan dibebankan itu nanti adalah petani serta pedagang atau konsumen karena harga pasti naik. Mau beranalisa bagaimanapun, kita punya analisa dan faktanya," kata Mansuri kepada Republika.co.id, Ahad (13/6).

Mansuri mengatakan, saat ini pedagang telah mengalami penurunan omzet antara 50 persen-60 persen akibat pelemahan daya beli masyarakat yang cukup drastis. Wacana kebijakan PPN sembako, menurutnya, sangat mengganggu rasa keadilan setelah sebelumnya pemerintah justru membebaskan pajak untuk kendaraan roda empat. 

"Bahasa pedagang, kondisi Covid-19 membunuh pedagang pelan-pelan, begitu PPN muncul, rasanya seperti digorok saja," kata dia.

Menurutnya, meskipun pemerintah menyatakan pajak akan mengarah pada komoditas-komoditas tertentu yang dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas, hal itu tetap akan memberikan dampak luas bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, termasuk pedagang itu sendiri. 

Sebelumnya, pemerintah memastikan rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada kebutuhan pokok dilakukan demi keadilan masyarakat. Sebab selama ini, kelompok menengah atas juga menikmati PPN nol persen pada kelompok barang dan jasa tertentu, termasuk kebutuhan pokok. 

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan kondisi ini juga terjadi terhadap seluruh jasa kesehatan baik, bagi orang miskin ataupun operasi plastik bagi kalangan tertentu. Hal yang sama juga dikenakan jasa pendidikan yang dikenakan PPN baik sekolah negeri atau sekolah private mahal sekalipun. 

"Menurut hemat kami ini tidak adil dan tidak fair, sehingga kita kehilangan kesempatan memungut pajak dari kelompok kaya untuk diredistribusi ke orang miskin. Saya sepakat bahwa kita harus selektif, targeted hanya instrumen yang berbeda," ujarnya. 

Yustinus menyebut pemerintah terlalu banyak memberikan pengecualian PPN. Selain itu, kebutuhan pokok yang dikecualikan dari PPN juga banyak dikonsumsi kalangan atas. 

Dia mencontohkan beras premium maupun beras dari Bulog, yang saat ini sama-sama tidak dikenakan PPN. Begitu juga dengan daging biasa dengan daging wagyu atau daging ayam yang semuanya tidak dikenakan PPN.

Sementara Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menambahkan skema ini memberikan rasa keadilan dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah. “Juga pengenaan tarif lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement