Selasa 15 Jun 2021 21:15 WIB

PPN Buat Harga Makin Mahal, Rakyat Miskin Makin Menderita

PPN belum mampu membuat orang kaya membayar pajak lebih tinggi.

Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hadi Setiawan, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal

Hal krusial untuk mengurangi kesenjangan adalah subsidi warga miskin yang uangnya dari pajak. Wacana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako dan jasa pendidikan, sangat menarik perhatian banyak orang. Diskusi panjang terjadi di semua media, seperti koran, televisi, dan khususnya media sosial.

Sebagian besar menentang dengan argumentasi, pengenaan PPN membuat harga semakin mahal, rakyat miskin semakin menderita, ditambah kondisi yang sedang susah-susahnya akibat pandemi Covid-19. Sebagian lagi mendukung. Argumentasinya, PPN saat ini tidak mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi sehingga menimbulkan distorsi.

Contohnya, akibat mendapatkan fasilitas tak dikenai PPN, konsumsi beras premium dan beras biasa sama-sama tidak kena PPN. Demikian juga daging, sekolah, dan sebagainya. Sebenarnya bagaimana beban pajak PPN saat ini?

Jika kembali ke teori PPN dan pendapat ahli, PPN yang merupakan pajak atas konsumsi mempunyai sifat sebagai pajak regresif. Artinya, jika dilihat berdasarkan persentase penghasilan, orang miskin membayar PPN lebih besar dibandingkan orang kaya.

Penelitian di 27 negara OECD menunjukkan, PPN bersifat regresif jika dihitung menggunakan pendekatan penghasilan (Thomas, 2020). PPN kian regresif bila hanya di kenakan dengan tarif tunggal dan sedikit pengecualian (PPN dibebaskan atau PPN tidak terutang).

Hal berbeda terjadi bila regresivitas di hitung berdasarkan pendekatan pengeluaran masyarakat, maka PPN lebih bersifat proporsional (netral) atau bahkan sedikit progresif (Bird and Smart, 2016; IFS, 2011; Metcalf, 1994).

Penelitian terakhir oleh Alaystrair Tho mas dalam Working Paper OECD pada 2020 menunjukkan, di 22 negara OECD, ternyata PPN bersifat proporsional bahkan sedikit progresif. Ini karena adanya multitarif dan pengecualian-pengecualian di negara OECD tersebut.

Kedua hal ini mampu meminimalisasi dampak regresivitas PPN karena barang dan jasa yang banyak dikonsumsi rakyat miskin dikenakan pajak bertarif rendah atau dibebaskan. Sedangkan barang yang dikonsumsi orang kaya dikenakan tarif lebih tinggi.

Hal yang sama ditemukan Eko Wicaksono dan teman-teman dalam penelitiannya, "Pola Konsumsi dan Beban PPN Kelas Menengah Indonesia" pada 2020, yang dipublikasikan di Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan.

Analisis beban PPN dengan pendekatan pengeluaran berdasarkan data Susenas 2018 menunjukkan, secara umum beban PPN untuk setiap kelas pendapatan cenderung proporsional atau netral. Dengan kata lain, beban PPN antara kelas pendapatan terendah dan yang tertinggi tak berbeda jauh. Namun, jika dilihat lebih dalam, ada beberapa konsumsi yang memang bersifat regresif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement