Jumat 18 Jun 2021 09:26 WIB

Duka Paramedis Palestina Demi Selamatkan Jiwa

Pasukan Israel membidik ambulans

Paramedis mengevakuasi pengunjuk rasa Palestina yang terluka selama bentrokan dengan tentara Israel di pintu masuk utara kota Ramallah, Tepi Barat, Minggu, 16 Mei 2021.
Foto: AP/Nasser Nasser
Paramedis mengevakuasi pengunjuk rasa Palestina yang terluka selama bentrokan dengan tentara Israel di pintu masuk utara kota Ramallah, Tepi Barat, Minggu, 16 Mei 2021.

IHRAM.CO.ID, NIILIN — Di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel, Bassem Sadaqa, tampak sedang menunjuk lubang peluru yang bersarang pintu mobil ambulans miliknya. Lubang-lubang itu, menjadi bukti serangan militer Israel kepada petugas medis Palestina secara teratur.

Meski demikian, Sadaqa yang telah menjadi paramedis di Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) selama 20 tahun, mengaku sudah terbiasa. Walaupun, ayah lima anak itu tetap tidak menyangka kejadian tersebut menimpa tenaga medis.

“Awalnya saya mengira ambulans terkena batu sampai saya melihat lubangnya. Penembakan itu bukan kecelakaan, tentara Israel membidik ambulans saat saya berdiri tepat di dekatnya. Dan itu juga bukan pertama kalinya ambulans yang saya kendarai menjadi sasaran,” ujar dia dikutip Al Jazirah, Kamis (17/6).

Akhir-akhir ini, Sadaqa dengan banyak rekan petugas medis Palestina lainnya, kerap membawa para pengunjuk rasa Palestina yang terluka ke ruma sakit. Meski perjalanannya hanya berjarak setengah jam, rasa was-was karena tembakan tak bisa ia sembunyikan.

Hal serupa nyatanya juga kerap dialami paramedis lainnya, Ziad Abu Latifa (50 tahun), dari kamp pengungsi Qalandiya dan Said Suleiman (40) dari desa al-Midya dekat Niilin.

Jumat kemarin contohnya, pemukim dari pos terdekat Israel memindahkan ternaknya untuk digembalakan di wilayah warga Palestina. Hal itu, menyebabkan protes yang berlarut. Bentrok tak terhindarkan, hingga akhirnya tembakan oleh tentara Israel tak terbendung, salah satu yang tertembak saat itu adalah Walikota Niilin, Emad Khawaja, yang ditembak di kaki oleh pasukan Israel.

Mendapati para warga terluka, sejumlah paramedis mulai meluncur, salah satunya adalah milik Abu Latifa. “Pernah saat mengambil bagian dalam protes, tulang saya patah oleh tentara Israel, hingga seorang pengendara motor yang lewat membawa saya ke rumah sakit di mana saya tidak sadarkan diri selama dua hari,” kata Abu Latifa.

Abu Latifa melanjutkan, pengalaman itu bukan yang pertama. Pasalnya, pernah ketika ia mencoba menolong pengunjuk rasa yang tertembak dan menembus lehernya, paramedis tak bisa menolongnya. Sebab, masih perlakuan tentara Israel, yang menghalangi paramedis mendekat dan membiarkannya meninggal.

“Sangat sulit bepergian di malam hari untuk menjemput pasien ketika tidak ada orang di sekitar dan tidak ada wartawan di lapangan untuk menyaksikan apa yang terjadi,” kata Abu Latifa.

Lebih jauh, saat mencoba melintasi wilayah desa Kubar, dekat Ramallah untuk mengevakuasi pemuda yang tertembak oleh tentara, ia kembali mengalami hal serupa, dihalangi untuk menolong. Bahkan, dalam kejadian itu, seorang tentara, kata dia, memukul kepalanya dengan senapan serbu M-16 miliknya.

“Saya kemudian menelepon pengiriman dan setelah satu jam negosiasi dengan kantor penghubung Israel, kami diizinkan untuk mengevakuasi pasien.” ungkap dia.

Jika menilik lebih jauh, perintah agar militer Israel tegas terhadap orang Palestina mulai diberlakukan saat PM Israel masih dijabat Yitzhak Rabin. Dalam kurun waktu 1987 hingga 1993, dia memerintahkan tentara Israel untuk mematahkan lengan dan kaki dari orang Palestina sebagai upaya menghentikan lemparan batu.

Terpisah, Sadaqa juga mengaku kerap mendapat pengalaman kekerasan layaknya Abu Latifa. Dia mengaku jika pasukan militer kerap menyerang paramedis Palestina dengan gagang senapannya. Padahal, Sadaqa menegaskan, hanya ingin merawat pasiennya sebaik mungkin.

“Salah satu masalah lain yang kami hadapi adalah tentara menolak mengizinkan ambulans untuk mendekati mereka yang terluka parah dalam mencoba mengevakuasi. Terkadang juga mengeluarkan pasien kami dari ambulans,” katanya.

Penderitaan fisik, dan mental yang dialami paramedis Palestina, hanya usai saat giliran kerja mereka berganti ketika matahari terbenam. Meski itu kenyataan yang menyakitkan, namun, Abu Latifa hingga Sadaqa mengaku puas karena telah berjuang untuk menyelamatkan jiwa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement