Sabtu 19 Jun 2021 07:37 WIB

PBB Serukan Penghentian Aliran Senjata ke Myanmar

119 negara anggota PBB mendukung resolusi penghentian aliran senjata ke Myanmar.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
 Orang-orang membawa demonstran yang terluka selama protes menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 22 Maret 2021. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) menyerukan penghentian aliran senjata ke Myanmar, Jumat (18/6/2021).
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Orang-orang membawa demonstran yang terluka selama protes menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 22 Maret 2021. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) menyerukan penghentian aliran senjata ke Myanmar, Jumat (18/6/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) menyerukan penghentian aliran senjata ke Myanmar, Jumat (18/6). Mendesak militer untuk menghormati hasil pemilihan November dan membebaskan tahanan politik, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi.

MU mengadopsi resolusi dengan dukungan 119 negara beberapa bulan setelah militer menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari. Belarus meminta agar teks tersebut divoting dan merupakan satu-satunya negara yang menentangnya, sementara 36 abstain, termasuk China dan Rusia.

Baca Juga

"Risiko perang saudara skala besar adalah nyata. Waktu sangat penting. Kesempatan untuk membalikkan pengambilalihan militer semakin menyempit," kata utusan khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener kepada MU setelah pemungutan suara.

Beberapa negara yang abstain mengatakan krisis adalah masalah internal bagi Myanmar, sedangkan  yang lain tidak berpikir resolusi itu akan membantu. Sementara beberapa negara mengeluh itu tidak cukup mengatasi penderitaan Muslim Rohingya sekitar empat tahun setelah tindakan keras militer memaksa hampir satu juta orang untuk melarikan diri dari Myanmar.

Duta Besar Uni Eropa untuk PBB Olof Skoog mengatakan, resolusi PBB mengirimkan pesan yang kuat. "Ini mendelegitimasi junta militer, mengutuk penyalahgunaan dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri dan menunjukkan keterasingannya di mata dunia," ujarnya.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebelumnya mendorong MU untuk bertindak. "Kita tidak bisa hidup di dunia di mana kudeta militer menjadi norma. Ini sama sekali tidak dapat diterima," ujarnya.

Draf awal resolusi PBB termasuk bahasa yang lebih keras yang menyerukan embargo senjata terhadap Myanmar. Menurut sebuah proposal yang dilihat oleh Reuters bulan lalu, sembilan negara Asia Tenggara ingin bahasa itu dihapus. Teks kompromi menyerukan semua negara anggota untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar.

Resolusi MU tidak mengikat secara hukum tetapi membawa bobot politik. Berbeda dengan Dewan Keamanan (DK) yang beranggotakan 15 negara, tidak ada negara yang memiliki hak veto di Majelis Umum.

Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, pasukan junta telah membunuh lebih dari 860 orang sejak kudeta. Junta mengatakan jumlahnya jauh lebih rendah.

Resolusi PBB menyerukan militer Myanmar untuk segera menghentikan semua kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai dan mengakhiri pembatasan di internet dan media sosial. MU juga meminta Myanmar untuk segera menerapkan konsensus lima poin yang dibuat junta dengan Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada April untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog dengan lawan-lawannya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement