Ahad 20 Jun 2021 09:20 WIB

Ebrahim Raisi: Dari Sekolah Agama Qom Hingga Presiden Iran?

Perjalanan panjang alumni sekolah keagamaan di Qom hingga jadi Presiden Iran

Presiden terpilih Iran, Ebrahim Raisi.
Foto: EPA
Presiden terpilih Iran, Ebrahim Raisi.

REPUBLIKA.CO.ID, Teheran, Iran -- Kepala Kehakiman Ebrahim Raisi telah terpilih sebagai presiden Iran berikutnya pada saat yang kritis bagi negara tersebut. Lalu siapa pemimpin konservatif dan apa posisinya? 

Raisi yang berusia 60 tahun, yang mendapat dukungan luas dari kubu revolusioner konservatif dan garis keras dan basisnya, akan tetap menjadi hakim agung sampai dia mengambil alih dari Presiden Hassan Rouhani yang moderat pada awal Agustus. Ini karena dia tidak mengundurkan diri dari jabatannya untuk mencalonkan diri untuk jadi Presiden. Raisi disebut sebagai calon penerus Khamenei yang meninggal dalam usia 82 tahun.

Seperti dilansir Al Jazeera, ketika ia memasuki sekolah keagamaan berpengaruh di Qom pada beberapa tahun sebelum revolusi 1979 yang membawa Iran menjadi Republik Islam, kala itu banyak orang Iran tidak puas dengan pemerintahan Mohammad Reza Shah Pahlavi, yang akhirnya digulingkan.

Raisi saat itu konon adalah peserta dalam beberapa peristiwa yang memaksa Shah diasingkan dan mendirikan lembaga ulama baru di bawah Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ruhollah Khomeini.

 

Setelah revolusi

Setelah revolusi, Raisi bergabung dengan kantor kejaksaan di Masjed Soleyman di barat daya Iran. Selama enam tahun berikutnya, ia menambah pengalamannya sebagai jaksa di beberapa yurisdiksi lain.

Perkembangan penting terjadi ketika dia pindah ke ibu kota Iran, Teheran, pada 1985 setelah ditunjuk sebagai wakil jaksa. Organisasi hak asasi manusia mengatakan tiga tahun kemudian, hanya beberapa bulan setelah Perang Iran-Irak yang melelahkan selama delapan tahun berakhir. Raisi adalah bagian dari apa yang disebut "komisi kematian" yang mengawasi penghilangan dan eksekusi rahasia ribuan tahanan politik.

Raisi akan menjadi presiden Iran pertama yang menjadi sasaran sanksi Amerika Serikat, yang dijatuhkan pada 2019, atas dugaan perannya dalam eksekusi massal dan untuk menindak protes publik. Amnesty International telah menyerukan pemimpin itu untuk menghadapi tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prestasi kepemimpinnya terus meningkat dalam sistem peradilan Iran setelah aksesi Khamenei ke kepemimpinan tertinggi pada tahun 1989.

Dia kemudian memegang peran sebagai jaksa Teheran, mengepalai Organisasi Inspeksi Umum, dan kemudian menjabat sebagai wakil ketua hakim selama satu dekade hingga 2014, di mana saat itu ada protes Gerakan Hijau pro-demokrasi tahun 2009 berlangsung.

Pada tahun 2006, saat menjabat sebagai wakil ketua pengadilan, dia untuk pertama kalinya terpilih dari Khorasan Selatan menjadi anggota Majelis Ahli, sebuah badan yang bertugas memilih pengganti pemimpin tertinggi jika dia meninggal. Dia masih memegang peran di sana.

Setelah itu Raisi dipromosikan menjadi jaksa agung Iran pada tahun 2014 dan tetap di posisi itu hingga 2016, ketika ia menaiki tangga lagi – meskipun kali ini di luar sistem peradilan – dan ditunjuk oleh pemimpin tertinggi sebagai penjaga Astan-e Quds, atau lembaga kepercayaan amal, yang mengelola tempat suci Imam Reza dan semua organisasi afiliasinya.

Dalam posisi itu, Raisi menguasai aset bernilai miliaran dolar dan menjalin hubungan dengan elit agama dan bisnis Mashhad, kota terbesar kedua di Iran. Raisi, yang memiliki dua putri, juga menantu Ahmad Alamolhoda, pemimpin gerakan shalat Jumat garis keras di Masyhad, yang dikenal karena pidato ultrakonservatifnya yang berapi-api dan pernyataan serta gagasan yang sangat kontroversial.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement