Selasa 22 Jun 2021 06:56 WIB

Berbohong dalam Perspektif Psikologi dan Agama

Berbohong itu terlarang dalam tradisi dan agama apa pun.

Prof Muhibbin Syah, ketua Program Doktor Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Bandung/ penulis sejumlah buku antara lain Psikologi Pendidikan dan Psikologi Belajar.
Foto: dok pri
Prof Muhibbin Syah, ketua Program Doktor Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Bandung/ penulis sejumlah buku antara lain Psikologi Pendidikan dan Psikologi Belajar.

Oleh Prof Muhibbin Syah (Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Bandung)

 IHRAM.CO.ID, Banyak orang percaya bahwa sekali pembohong tetap pembohong. Akibatnya, cerita seorang pembohong, meskipun sesekali mengandung kebenaran, sering dianggap nonsense. 

Selain itu, boleh jadi di antara orang-orang yang tahu kebiasaan buruk si pembohong pun terdorong untuk mengingatkan teman-temannya dengan berkata: "Jangan mendengarkan ocehannya! Dia pendusta!" 

Sedemikian burukkah stigma kedustaan si pembohong itu? Ungkapan "pembohong tetap pembohong" yang dipertegas dengan peringatan tadi ternyata mengandung kebenaran psikologis.

Otak seorang pembohong cenderung membuat perilaku berbohong lebih mudah dan berkembang menjadi kebiasaan. Fakta dan pengalaman keseharian di lingkungan kita membuktikan bahwa sejumlah kebohongan ringan/kecil dapat menjadi kebiasaan, yakni: kebiasaan berbohong! 

Oleh karenanya, kalau di antara kita ada yang gemar berbohong (meskipun sekadar iseng dan ringan), maka sebaiknya kita bantu dengan segala cara agar ia menghentikan kegemarannya yang merugikan itu! Mengapa? Kegemaran buruk berbohong itu, cepat atau lambat akan berubah menjadi kebiasaan psikis. Kemudian, kebiasaan ini berkembang menjadi cikal bakal kebohongan serius dan besar yang merugikan bahkan membahayakan orang lain dan lingkungan sekitar.

Majalah TIME edisi Oktober 2016 memberitakan hasil sebuah penelitian dari program studi Experimental Psychology di University College London. Para peneliti menguji kecenderungan tidak jujur dari sekelompok orang saat memindai otak mereka dengan mesin MRI (Magnetic Resonance Imaging). Dalam setiap kasus pengujian, para peneliti mendokumentasikan perubahan dalam otak orang-orang yang diuji dalam eksperimen. 

Dalam eksperimen ini ditemukan bahwa aktivitas amygdala yakni pusat pengolahan emosi dan gairah dalam otak mengalami perubahan aktivitas ketika orang bertindak tidak jujur. Semakin tidak jujur seseorang kepada rekannya, semakin kurang aktif amigdala orang tersebut ketika dipindai MRI. Data lanjutannya menunjukkan bahwa apabila kebohongan ini ditambah atau diikuti dengan kebohongan lainnya, maka akan muncul gairah dan konflik yang akan mempermudah orang untuk menceritakan ketidakbenaran alias dusta/kebohongan. 

Inilah kondisi psikis yang membuat seseorang lebih mudah untuk berbohong! Selanjutnya, para peneliti juga menemukan bukti bahwa amigdala menjadi kurang aktif terutama ketika orang berbohong demi meraih keuntungan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, kepentingan diri sendiri menjadi bahan bakar yang menyulut ketidakjujuran, dan akan berlangsung terus menerus selama kebohongan yang dilakukan tidak diketahui orang.

Oleh karenanya, melalui tulisan singkat ini saya mengajak Anda dan diri saya sendiri untuk merawat jiwa dengan cara tidak mengucapkan atau melakukan kebohongan. Sebab, berbohong itu terlarang dalam tradisi dan agama apa pun. Dalam Islam, ucapan bohong itu merupakan ciri utama orang munafik.

Oleh karenanya, kapan pun dan di mana pun, berbohong itu hukumya tetap haram karena bukan hanya akan merusak mental melainkan juga merusak iman. Allah berfirman dalam surah al-Nahl ayat 105: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah para pendusta” 

Sebagai catatan tambahan, perlu kita ketahui bahwa berbohong itu pada situasi tertentu dan sangat terbatas dibolehkan, misalnya: apabila kita sedang berperang melawan musuh, atau ketika kita harus menyelamatkan jiwa orang baik yang sedang terancam. 

Dalam hal ini,  berlakulah kaidah yang berbunyi: "Hal-hal darurat (emergency) memperbolehkan hal-hal yang semula dilarang". 

Sebagai penutup kajian singkat ini, saya mengimbau agar kita semua menjauhi dusta atau kebohongan apa lagi menyebarkannya sebagai fitnah dan ujaran kebencian. Imbauan ini sangat penting bagi kesehatan mental agar jiwa kita tetap sehat dan iman kita tidak cacat! Dengan jiwa yang sehat dan iman yang tidak cacat kita akan memiliki "nafsun muthmainnah" yakni jiwa yang tenteram.

Dengan jiwa yang tenteram pada gilirannya kelak kita  akan dapat meraih "mardhatillah", keridhaan Allah. Hal ini diisyaratkan Allah dalam surah al-Fajr ayat 27-30 yang berbunyi: 

"َٰWahai jiwa yang tenteram!"

"Kembalilah kepada Tuhanmu dengan kepuasan jiwa dan keridhaan dari-Nya!" 

"Maka masuklah ke dalam golongan para hamba-Ku yang saleh!" 

"Dan masuklah ke dalam surga-Ku!" 

 

Demikian. Semoga bermanfaat!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement