Kamis 22 Jul 2021 20:52 WIB

Saudi Tingkatkan Sektor Pariwisata Selain Haji dan Umroh

Arab Saudi Akan Tingkatkan Sektor Pariwisata Selain Haji dan Umroh

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Muhammad Subarkah
Tayeb Al-Ism, Wisata Alam Paling Menakjubkan di Arab Saudi
Foto: Arab News
Tayeb Al-Ism, Wisata Alam Paling Menakjubkan di Arab Saudi

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH--Kerajaan Arab Saudi terus berupaya untuk mendiversifikasi ekonominya dari hanya bergantung dengan bahan bakar fosil. Sektor pariwisata disebut akan ditingkatkan, lebih dari wisata religi secara seperti haji dan umroh yang sudah berjalan.

Kerajaan disebut memiliki rencana untuk memanfaatkan pasar wisata di luar haji dan umroh. Hal ini diyakini sebagai bagian dari realisasi visi 2030 dari Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) untuk mengembangkan ekonomi di luar pendapatan minyak.

Kebijakan ini dimulai sejak September 2019, Arab Saudi memperkenalkan e-visa turis yang ditujukan untuk menarik pengunjung non-Muslim. Tapi pandemi Covid-19 menghentikan industri pariwisata global tahun lalu. Pembatasan pandemi bahkan juga memukul industri pariwisata religi yang sudah stabil di Saudi.

“Jelas, ini satu tahun lagi.  Bisnis ziarah dihentikan bersama dengan sektor petualangan dan pariwisata budaya yang lebih baru, ”kata konsultan pariwisata yang berbasis di Jeddah, Chris Rosenkrans dilansir dari Al Jazeera, Kamis (22/7).

Bagi pemandu wisata yang berbasis di Jeddah, Samir Komosani, sulit melihat negaranya tertutup bagi pengunjung internasional. “Negara besar yang indah ini memiliki begitu banyak hal untuk ditawarkan kepada pengunjung dan saya senang berbagi rahasia tersembunyi,” katanya.

“Saya pikir saat Covid-19 mereda, kita akan melihat orang-orang dari seluruh dunia datang ke Arab Saudi," tambahnya.

Optimismenya juga dimiliki oleh para pemimpin di Riyadh yang berharap dapat meningkatkan pendapatan pariwisata dari 3 persen dari total produk domestik bruto negara itu menjadi 10 persen pada tahun 2030. Arab Saudi bertujuan untuk menarik 100 juta wisatawan per tahun pada akhir dekade ini dan meningkatkan jumlah wisatawan religi dari 17 juta menjadi 30 juta pada tahun 2025.

Untuk mengakomodasi pengunjung yang diharapkan, pemerintah memperluas infrastruktur pariwisata dan mencoba menjadikan negara yang secara historis konservatif itu menjadi tujuan yang lebih terbuka dan beragam bagi pengunjung Barat dan turis religi.

Pada bulan Juli, Putra Mahkota juga mengumumkan rencana untuk membuat maskapai penerbangan nasional baru dan berkomitmen untuk menginvestasikan lebih dari Rp 2,1 triliun dalam infrastruktur transportasi selama sembilan tahun ke depan.  Kerajaan juga sedang mempertimbangkan pembangunan bandara baru di Riyadh.

 “Itu (pengumuman maskapai baru) benar-benar puncak pariwisata dan menunjukkan niat mereka,” kata seorang sarjana Teluk di Chatham House, Adel Hamaizia.

“Pertanyaan besarnya adalah ‘Dapatkah Saudi menarik cukup banyak pelancong untuk membuat proyek seperti maskapai ini laya ?" tambahnya.

Skala ambisi Arab Saudi dapat dilihat dari mega proyek yang dijalankannya.  The Red Sea Development Company, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh Dana Investasi Publik Arab Saudi (PIF) atau dana kekayaan kedaulatan kerajaan sedang membangun 50 hotel dan 1.300 unit tempat tinggal di sepanjang pantai Laut Merah sebagai bagian dari resor terumbu karang yang ramah lingkungan.

PIF, yang bertugas menyebarkan kekayaan minyak negara itu ke industri yang lebih berkelanjutan, juga berinvestasi di ibu kota hiburan sepanjang 334 kilometer dan kota besar gurun pasir nol karbon NEOM senilai Rp 7,2 triliun yang merupakan inti dari rencana transformasi ekonomi MBS.

Tetapi Arab Saudi menghadapi persaingan ketat dari tetangganya.  Di seberang Laut Merah ada Mesir, di mana pantainya dipenuhi dengan resor pantai yang besar dan mapan, seperti Sharm el-Sheikh.  Mereka telah beroperasi selama beberapa dekade dan memiliki keuntungan dari harga yang lebih rendah, belum lagi kode sosial yang santai dan penjualan alkohol.

Yordania juga telah menjadi pusat pariwisata utama yang menarik pengunjung ke situs-situs seperti Petra dan Wadi Rum. Sementara Uni Emirat Arab menggandakan sektor perhotelan sebagai bagian dari upayanya untuk mengurangi ekonominya dari bahan bakar fosil.

Bader Al-Saif, seorang cendekiawan negara Teluk dari Carnegie Middle East Center di Beirut, mengatakan kerajaan bertekad untuk menarik lebih banyak turis Barat dan Muslim. Tetapi pemeliharaan situs-situs suci memberi mereka keuntungan yang jelas.

“Para peziarah secara reguler menjadi turis dan tidak ada negara lain yang memilikinya,” katanya. 

“Orang-orang Saudi ingin mereka pergi ke Makkah dan Madinah, tetapi mengapa tidak memberi mereka pilihan untuk pergi ke tempat lain setelah itu?,"tambahnya.

Turis religius mungkin juga merasa lebih nyaman di resor atau kota di mana alkohol tidak disajikan dan kode sosial, meskipun lebih santai dalam beberapa tahun terakhir. Upaya kerajaan untuk mengembangkan sektor pariwisata juga dapat menghasilkan dividen jika mereka berhasil menjaga pengeluaran warga Saudi untuk liburan mereka.

Warga Saudi menghabiskan Rp 318 miliar untuk bepergian ke luar negeri pada 2019. Di negara di mana lebih dari separuh penduduknya berusia di bawah 30 tahun, banyak warga pergi ke luar negeri untuk mencari pilihan hiburan.

Reformasi sosial liberal yang dipelopori oleh MBS, apakah itu mengizinkan konser atau pencampuran pria dan wanita di tempat-tempat umum, adalah tentang memodernisasi masyarakat seperti halnya menarik pemuda Saudi untuk berlibur di negara mereka sendiri.  Dan sementara pandemi virus corona membatasi jumlah jemaah haji untuk tahun kedua, itu mendukung upaya pemerintah demi mempromosikan pariwisata domestik.

 “Pariwisata tidak hanya bergantung pada orang luar,” kata Komosani."Wisatawan Saudi adalah yang paling dicari di dunia,"tambahnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement