Kamis 16 Sep 2021 05:53 WIB

KontraS: Indonesia Masih Batasi Kebebasan Berpendapat

Sejak Januari, sedikitnya ada 26 kasus dari pembatasan kebebasan berpendapat

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia (BEM SI) menggelar demonstrasi di Jalan Gatot Subroto di Jakarta, Indonesia pada 01 Oktober 2019. Dalam aksinya mereka meminta kepada pemerintah untuk membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Rancangan Undang Undang Hukum Pidana.
Foto: Anadolu Agency
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia (BEM SI) menggelar demonstrasi di Jalan Gatot Subroto di Jakarta, Indonesia pada 01 Oktober 2019. Dalam aksinya mereka meminta kepada pemerintah untuk membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Rancangan Undang Undang Hukum Pidana.

JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintah saat ini masih sangat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat. 

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan hal itu terlihat dari sejumlah kasus upaya pembungkaman atau pembatasan kebebasan berekspresi sepanjang tahun 2021.

"Pemerintahan Joko Widodo masih alergi dengan kritikan-kritikan yang disampaikan oleh warganya,” kata Fatia dalam keterangan tertulis, Rabu(15/9).

KontraS, lanjut dia, mencatat sejak Januari, sedikitnya ada 26 kasus yang merupakan bagian dari pembatasan kebebasan berekspresi.

Fatia merinci kasus-kasus tersebut yakni penghapusan mural, perburuan pelaku dokumentasi, persekusi pembuat konten, penangkapan terkait UU ITE, penangkapan kritik kebijakan PPKM, hingga penangkapan pada beberapa orang yang membentangkan poster guna menyampaikan aspirasinya di depan presiden.

Dia menjelaskan sepanjang Juli sampai Agustus, pihaknya mencatat terdapat 13 kasus persekusi terhadap seniman mural.

Dari 13 kasus itu, kata dia, 11 di antaranya merupakan penghapusan mural di berbagai daerah, 1 persekusi pembuat konten mural di Tangerang, dan 1 tindakan perburuan pelaku dokumentasi mural.

"Berujung korban didatangi oleh pihak kepolisian," kata Fatia

Selain itu, KontraS juga mencatat 13 kasus penangkapan yang dilakukan secara sewenang-wenang yang terdiri dari 8 kasus penangkapan UU ITE terkait dengan 2 penangkapan isu kinerja institusi, 1 isu mengenai kritik institusi, 2 isu mengenai Papua, dan 3 isu mengenai kinerja pejabat.

Dia menuturkan ada juga 2 kasus penangkapan sewenang-wenang terkait kritik terhadap PPKM, dan yang terakhir adalah 3 penangkapan terkait kritik kinerja kepada pejabat.

Terakhir, kata dia, terjadi penangkapan 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang membentangkan poster berisikan kritik pada Jokowi.

"Hal ini menunjukkan bahwa Negara tidak memberikan ruang ekspresi kritik warga negara terhadap sikap negara atas kebijakan tertentu," kata Fatia.

Dia menilai pembatasan tersebut menunjukkan bahwa negara tak lagi setia pada demokrasi, melainkan menunjukkan gejala otoritarianisme.

Oleh karena itu, kata dia, KontraS mendesak Presiden Jokowi menjamin tiap bentuk ruang dan ekspresi kritik warga negara.

Menurut Fatia, hal ini bisa dilakukan dengan memberikan arahan tegas kepada alat negara untuk tidak mudah membungkam segala bentuk ekspresi warga negara.

Dia juga meminta agar Kapolri menginstruksikan kepada bawahannya agar tidak bertindak secara sewenang-wenang dalam merespons kebebasan berekspresi masyarakat.

"Pembungkaman justru akan semakin mencederai upaya penyampaian kritik yang dilakukan oleh masyarakat yang dapat mengakibatkan timbulnya ketidakpercayaan pada pemerintahan," tutur Fatia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement