Senin 20 Sep 2021 13:48 WIB

Hentikan Kriminalisasi terhadap Aktivitas HAM

2021 Amnesty Internasional mengungkapkan ada 99 kasus serangan terhadap pembela HAM.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Aktivis menampilkan aksi teatrikal pada aksi Kamisan ke-361 di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (9/9). Aksi Kamisan ke-361 tersebut digelar dalam rangka memperingati 17 tahun pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Aktivis menampilkan aksi teatrikal pada aksi Kamisan ke-361 di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (9/9). Aksi Kamisan ke-361 tersebut digelar dalam rangka memperingati 17 tahun pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Persoalan tentang hak asasi manusia di Indonesia terus menjadi topik yang hangat dalam berbagai kesempatan. Pasalnya, beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia kerap mengambang atau berujung vonis ringan kepada pelanggarnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), M Syafi'ie mengatakan, kasus-kasus pembela HAM seperti Munir yang dibunuh dengan racun saat menumpangi Garuda dari Singapura ke Belanda. Marsinah yang dibunuh karena perjuangkan UMR.

Kasus Novel Baswedan penyidik KPK yang disiram air keras, lalu Prita Mulyasari yang dijerat UU ITE karena keluhkan pelayanan RS OMNI Internasional dan lain-lain. Padahal, Deklarasi Pembela HAM Pasal 1 disebut setiap orang memiliki hak.

Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan HAM dan kebebasan dalam nasional dan internasional. Dengan begitu, semua orang bisa membela HAM tanpa harus menjadi seperti Munir.

"Selama kita bertindak dan mendorong perlindungan HAM, selama itulah kita akan dikenal sebagai Human Right Defenders atau pembela HAM," kata Syafi'ie dalam kajian yang diselenggarakan Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII.

Ia menyayangkan, belum membaiknya situasi dan kondisi pembela HAM di Indonesia. Merujuk data lembaga Imparsial, pada 2003 saja ada sekitar 30 kasus kekerasan terhadap pembela HAM, dan meningkat sangat tajam pada 2004 dengan 152 kasus.

Sedangkan, 2020 Komnas HAM mendapat 9 kasus aduan tentang pembela HAM, dan 2021 Amnesty Internasional mengungkapkan ada 99 kasus serangan terhadap pembela HAM. Bentuknya bermacam-macam seperti ditangkap, ditahan, dan dijadikan tersangka.

Lalu dianiaya, dihilangkan, dibunuh, dibubarkan, dilecehkan, diserbut, dirusak, dijadikan daftar pencarian orang dan lain-lain. Mereka dari beragam kalangan mulai mahasiswa, aktivis, guru, dosen, tokoh masyarakat, wartawan dan petani.

Syafi'ie juga menemukan bentuk pembatasan terhadap aktivitas pembela HAM. Ada pembatasan hak yang perlu untuk melindungi dan majukan HAM, pembatasan memakai aturan hukum karet seperti pasal penghasutan, pencemaran, UU ITE dan lain-lain.

Ada pula pembatasan dengan tindakan pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, penganiayaan dan ancaman. Lalu, pembatasan menggunakan stigma negatif terhadap pembela HAM, dianggap melawan negara, musuh negara, berhaluan kiri dan lainnya.

Padahal, jaminan hukum HAM di Indonesia telah diatur dalam Pasal 100-102 UU No. 39/1999 tentang HAM, Pasal 34 ayat (1) UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

"Untuk meningkatkan kesadaran dan perlindungan bagi pembela HAM Indonesia perlu penghapusan aturan-aturan karet yang kerap mempidanakan pembela HAM," ujar Syafi'ie.

Selain itu, perlu regulasi kuat yang menjamin aktivitas dan kerja-kerja pembelaan aktivis HAM. Terakhir, perlu penghukuman yang lebih berat terhadap pengancam, pembunuh dan pelaku kekerasan yang dilakukan terhadap pembela HAM.

"Mestinya tidak boleh ada kriminalisasi terhadap aktivis HAM karena yang disuarakan terkait hak asasi manusia," kata Syafi'ie. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement