Selasa 21 Sep 2021 15:58 WIB

Ubah Covid Sebagai Endemi Bisa Pengaruhi Pola Pikir Warga

Masyarakat akan cenderung merasa Covid-19 sudah selesai sehingga abai dengan prokes.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Virus Covid-19 (ilustrasi)
Foto: Pixabay
Virus Covid-19 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Rencana pengubahan status pandemi Covid-19 di Indonesia menjadi endemi mendapatkan beragam respons dari masyarakat. Tak terkecuali dari Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, Abdul Ghofar.

Pria yang akrab disapa Ghofar ini menilai, pemerintah terlalu dini merencanakan transisi dari pandemi ke endemi. Sebab, keputusan untuk menjadikan Covid-19 sebagai endemi akan berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat. "Dikhawatirkan masyarakat menjadi abai terhadap protokol kesehatan," katanya.

Pada saat yang sama, pemerintah akan kesulitan untuk menerapkan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Ketika endemi sudah dideklarasikan, itu akan berpengaruh terhadap pergerakan kegiatan masyarakat. Masyarakat akan cenderung merasa Covid-19 sudah selesai sehingga abai dengan protokol kesehatan.

Di sisi lain, belum ada negara di dunia yang menjadikan Covid-19 sebagai endemi. Semuanya masih menganggap Covid-19 sebagai pandemi meskipun sejumlah negara telah melonggarkan aktivitas warganya.

Menurutnya, ada tiga kunci penting yang harus dicapai pemerintah supaya transisi dari pandemi ke endemi tidak memicu masalah baru. Hal tersebut antara lain capaian vaksinasi, standar kesehatan, dan kebiasaan new normal di tengah masyarakat.

Tingkat perekonomian tidak bisa langsung naik meskipun sudah memasuki pasca-pandemi. Menurutnya, akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di masing-masing negara di dunia. "Atau yang disebut dengan uneven economic growth," ungkapnya.

Ghofar menilai, faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut antara lain capaian vaksinasi dan standar layanan kesehatan di masing-masing negara. Kemudian, faktor efektivitas stimulus perekonomian yang dilakukan oleh masing-masing negara.

Untuk diketahui, capaian vaksinasi di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, capaian vaksinasi hingga 14 September 2021 pukul 18.00 WIB masih sebesar 35,92 persen untuk vaksin dosis pertama dan 20,54 persen untuk vaksin dosis kedua dari jumlah sasaran 208.265.720 warga. "Nah, Indonesia itu kan tingkat vaksinasinya belum terlalu tinggi," kata dia.

Agar tidak memicu persoalan pada proses tansisi dari pandemi ke endemi, pemerintah harus mengerjar target minimal capaian vaksinasi sebesar 70 persen. Jika perlu, kata dia, vaksin digelontorkan besar-besaran untuk vaksinasi. Memang tingkat kasus harian saat ini turun tapi yang jadi masalah kemudian kasus bisa jadi akan naik kalau vaksinasinya belum mencapai herd immunity.

Pemerintah juga harus mampu menciptakan budaya new normal. Yakni membiasakan masyarakat supaya tetap disiplin menjalani protokol kesehatan meskipun kasus Covid-19 sedang turun. Sosialisasi pentingnya protokol kesehatan harus terus dilakuan.

"Itu saya kira harus tetap dijalankan walaupun nanti ini sudah dianggap endemi. Yang betul-betul new normal adalah ketika pemerintah menyatakan ini endemi, bukan pandemi lagi. Itu baru new normal beneran," ujarnya.

Di samping itu, Ghofar menilai, pemerintah mulai merencanakan transisi dari pandemi ke endemi untuk mengurangi beban anggaran pemerintah. Sebab jika sudah endemi, pemerintah tidak terlalu banyak ikut campur terkait dengan pembiayaan kesehatan masyarakat. Kalau niatnya seperti itu, ia khawatir beban masyarakat akan semakin tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement