Senin 27 Sep 2021 23:45 WIB

Pengunjung Museum di Sleman Turun 90 Persen Selama Pandemi

Museum harus memberikan edukasi dan pengetahuan kepada masyarakat.

Pengunjung Museum di Sleman Turun 90 Persen Selama Pandemi. Museum Ullen Sentalu yang berada di Jalan Boyong, Kaliurang Barat, Hargobinangun, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Museum ini menampilkan budaya dan kehidupan para bangsawan Dinasti Mataram seperti Kasunanan Surakarta, Kasunanan Yogyakarta, Praja Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Sabtu (28/10).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Pengunjung Museum di Sleman Turun 90 Persen Selama Pandemi. Museum Ullen Sentalu yang berada di Jalan Boyong, Kaliurang Barat, Hargobinangun, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Museum ini menampilkan budaya dan kehidupan para bangsawan Dinasti Mataram seperti Kasunanan Surakarta, Kasunanan Yogyakarta, Praja Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Sabtu (28/10).

IHRAM.CO.ID, SLEMAN -- Wakil Bupati Sleman, Yogyakarta Danang Maharsa mengungkapkan jumlah pengunjung museum turun hingga 90 persen selama masa pandemi.

"Kami mempunyai sekitar 21 museum baik itu dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Tetapi, dari hasil diskusi kami dengan kepala-kepala museum, di masa pandemi hampir 90 persen tingkat pengunjung museum turun drastis," kata Danang, Senin (27/9).

Baca Juga

Menurut dia, acara Festival Anak Bajang sekaligus peresmian dibukanya Museum Anak Bajang yang diselenggarakan di Omah Petroek, Wonorejo, Sleman, DI Yogyakarta diharapkan bisa mendongkrak kunjungan ke museum. "Bagaimana pemerintah daerah dan semua pengelola dan seniman berpikir agar nanti museum ini bisa menjadi suatu wahana yang tidak hanya tempat untuk menyimpan benda bersejarah, tetapi yang terpenting bisa memberikan edukasi dan pengetahuan kepada masyarakat," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengimbau para generasi terdahulu bisa mengenalkan cerita-cerita wayang kepada generasi yang lebih muda. "Kalau dibuka jalannya untuk anak-anak bisa mengakses cerita wayang yang memang sudah ditulis sudah ratusan tahun sebelum ini, jaraknya cukup jauh ya. Jadi kalau berharap anak-anak menghapal atau mengenali cerita-cerita wayang hari ini, sementara pertunjukan-pertunjukan juga jumlahnya semakin berkurang itu agak sulit ya," kata Hilmar.

 

"Kalau ditanya metodenya apa, metode yang bisa membuka jalan bagi anak-anak sehingga bisa menikmati wayang," lanjutnya.

Hilmar juga mengatakan metode yang kedua agar anak-anak tertarik dengan cerita wayang adalah mengajak mereka untuk dapat menikmati cerita tersebut. Sehingga dengan menikmati cerita wayang, anak-anak dapat larut dan menyukainya.

"Kedua, jalan orang untuk akrab kembali dengan wayang sebetulnya cukup banyak. Tinggal dari kita yang lebih dulu lahir bisa memberi jalan bagi anak-anak untuk bisa mengikuti keasyikan yang sama. Asyik itu adalah kata kuncinya. Tanpa itu, upaya untuk menanamkan itu pasti akan mental," kata Hilmar.

Festival menggunakan nama "Anak Bajang" yang diangkat dari nama novel karya Sindhunata yang berjudul Anak Bajang Menggiring Angin yang terbit di tahun 1981. Bajang merupakan sosok pewayangan yang direpresentasikan sebagai "buruk rupa" dari dunia saat ini.

"Figur Anak Bajang adalah abstrak dan untuk diri kita sendiri, tapi juga mengkritik habis-habisan sebagai manusia. Makhluk yang tidak sempurna mencoba menghayati nilai-nilai untuk mencapai ke sana walaupun tidak pernah dicapai hidup ini," kata Sindhunata, sang pencipta Anak Bajang.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement