Selasa 28 Sep 2021 15:46 WIB

Apa Hukum Membeli Barang Secara Kredit?

Selama harga jual beli sudah dipatok atau ditentukan di awal, maka diperbolehkan

Rep: Fuji E Permana/ Red: Esthi Maharani
Kartu kredit (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Kartu kredit (ilustrasi).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Jual beli secara kredit atau membeli barang dengan membayarnya secara berangsur adalah praktik yang biasa dilakukan masyarakat modern dewasa ini. Lalu, bagaimana agama Islam memandang praktik jual beli secara kredit?

Ambil contoh, Budi membeli sepeda motor dari Doni. Bila Budi membeli secara tunai harga sepeda motornya Rp 10 juta. Namun bila Budi membeli sepeda motor secara kredit atau pembayarannya diangsur, maka harganya Rp 12 juta.

Dosen Tetap Fikih Zakat Kontemporer dan Kaidah Keuangan Syariah Untuk Pascasarjana Universitas Ibnu Kholdun Bogor, Ustaz Hari Susanto, menerangkan, pembayaran secara kredit atau diangsur bagian dari bab tentang utang piutang. Praktik jual beli seperti ini para ulama membolehkannya, selama harga jual beli sudah dipatok atau ditentukan di awal.

Ia menjelaskan, misalnya harganya ditentukan sebesar Rp 12 juta, bayarnya diangsur selama 12 bulan, setiap bulannya bayar Rp 1 juta. Ini dibolehkan ulama, tapi jika di tengah jalan ada penambahan harga, ini yang termasuk riba.

 

"Misalkan ditetapkan harga (jualnya) Rp 10 juta, kemudian dibayar Rp 1 juta per bulan selama 10 bulan, tapi karena ada sesuatu harganya jadi bertambah dari Rp 10 juta menjadi Rp 12 juta atau berubah karena fluktuasi bunga di bank, ini yang kemudian dilarang, ini disebut riba," kata Ustaz Hari kepada Republika, Kamis (28/9).

Ia menegaskan, tapi kalau sejak awal harga kreditnya sudah disepakati Rp 12 juta dan tidak berubah-ubah. Maka diperbolehkan jual beli seperti itu.

Ia menambahkan, contoh lainnya, kalau membeli barang secara tunai Rp 10 juta, tapi kalau kredit Rp 12 juta. Ini baru tawaran, belum terjadi akad. Ia menerangkan, yang tidak dibolehkan oleh syariat adalah orang sepakat membeli barang tapi tidak ditetapkan harganya yang mana, tunai atau kredit.

"Jadi akhirnya kalau tidak diputuskan di awal (harganya) maka ia jatuh kepada jual beli dengan dua transaksi, yaitu tunai dan angsuran, ketika belum ditentukan ini tidak boleh, ini masuk dalam jual beli dengan dua transaksi, tapi kalau sejak awal sudah disepakati misalnya ambil yang tunai maka akadnya tunai, kalau ambil yang kredit maka itu yang disepakati dan tidak ada penambahan setelahnya di tengah perjalanan sampai lunas," jelasnya.

Ustaz Hari mengatakan, namun mereka yang tidak tahu akan menganggap riba, jika membeli secara tunai Rp 10 juta tapi secara kredit menjadi Rp 12 juta. Seakan-akan yang Rp 12 juta itu menjadi riba, padahal bukan riba kalau sejak awal sudah disepakati bersama antara penjual dan pembeli.

Ia menerangkan, beda lagi hukumnya kalau jual beli secara kredit melibatkan leasing atau bank konvensional. Misalnya membeli barang secara tunai Rp 10 juta, kemudian dibayari oleh pihak leasing atau bank Rp 10 juta ke pihak penjual barang. Sementara, pihak pembeli barang harus bayar ke leasing atau bank Rp 12 juta dengan cara diangsur atau kredit. Jadi lebihnya sebesar Rp 2 juta itu termasuk riba.

Ustaz Hari juga menerangkan, dalam masalah utang, Nabi Muhammad SAW juga pernah berutang. Beliau menggadaikan baju perangnya.

Ia mengutip Surah Al-Baqarah Ayat 282. Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman. Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya."

"Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya."

"Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS Al-Baqarah: 282).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement