Kamis 30 Sep 2021 15:19 WIB

Badal Haji Adanya Permintaan dari yang Dihajikan

Badal Haji Adanya Permintaan dari yang Dihajikan

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Sertifikat Badal Haji
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Sertifikat Badal Haji

IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Tidak diperbolehkan berhaji atas nama orang lain tanpa ada perintah dari orang yang dihajikan itu. Oleh karena itu, bolehnya dia berhaji adalah dengan cara perwakilan dari orang tersebut.

"Dan perwakilan itu tidak sah kecuali dengan adanya perintah atau keturunan/ahli waris yang menghajikan orang yang mewariskannya itu diperbolehkan walaupun tanpa perintah," tulis Syaikh Sa'id bin Abdul Qodir Basyanfa dalam karyanya Al-Mughnie.

Baca Juga

Syaikh Sa'id mengatakan, ketentuan itu pun kalau ia tidak mewasiatkan untuk dihajikan. Sebaliknya, jika ia berwasiat dihajikan atas namanya, lalu ada orang lain atau ahli warisnya yang sukarela berhaji atas namanya, hukumnya tidak boleh. Sementara itu, para ulama dari kalangan mazhab Syaf i dan Hanbali berpendapat.

"Siapa saja yang meninggal dunia dan belum pernah berhaji padahal telah wajib haji atasnya, hendaklah dilaksanakan haji atas namanya terlepas ia berwasiat atau tidak."

Terkait hal ini harus ada niat. Maksud niat adalah mengucapkan niat untuk menunaikan haji atas nama orang yang dihajikan itu tatkala ber-ihram karena ia menunaikan haji atas nama orang yang digantikannya bukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, pengucapan niatnya itu atas nama orang yang dihajikannya. 

"Paling utama, ia harus mengucapkannya dengan mulutnya," katanya.

Labbaika'an (Saya memenuhi panggilan untuk menunaikan haji atas nama . . . . ..) , tetapi jika ia mencukupkan dengan niat di dalam hati, itu pun sah. Seandainya ia ber-ihram secara mutlak dan umum seperti berihram dengan menunaikan haji dan mengucapkan niatnya secara umum tanpa dibatasi untuk siapa-siapanya.

"Maka ia harus menentukan niat hajinya itu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain pada saat sebelum memulai kegiatan-kegiatan ibadah haji," katanya.

Pengarang kitab Irsyadus Saari berkata, "Maksud syarat kewajiban berhaji adalah wajib berdasarkan kemampuan harta benda. Jika seseoramg menunaikan haji atas nama orang fakir atau atas nama orang lainnya padahal orang tersebut itu tidak wajib menunaikan haji, menunaikan haji atas nama orang-orang tersebut tidak diperbolehkan." 

Pengarang kitab Bada'iush Shana'i berkata dalam kitabnya, jika ada orang fakir yang sehat jasmaninya, tidak boleh ada orang lain yang berhaji atas namanya karena cukupnya harta benda termasuk syarat wajib haji. Jika ia tidak punya harta benda, ia tidak wajib berhaji. 

"Oleh karena itu, tidak boleh ada orang lain yang menggantikannya dalam melaksanakan sesuatu yang wajib dari berhaji. Ketika syarat itu tidak terpenuhi, tidak ada kewajiban atasnya," katanya.

Dan biaya pelaksanaan haji harus dimbil dari arta orang yang dhajikan itu. Jika orang yang menghajikan itu menyumbangkan dari hartanya sendiri (mengeluarkan biaya sendiri), hal itu tidak diperbolehkan sampai dilaksanakan ibadah haji itu dengan harta dari asalnya (dari orang yang dihajikan). 

Pengarang kitab Fat-hul Qadir berkata dalam kitabnya, "Ketahuilah bahwa syarat ijzaa (ibadah haji itu diangap sah dari yang dihajikannya) jika sebagian besar biaya yang dipakaiberhaji itu berasal dari orang yang memerintah supaya dihajikan. Ukurannya adalah keseluruhan pembiayaan itu diambil dari hartanya kecuali jika dengan memegang ketentuan itu ada semacam kesulitan yang muncul. 

Para ulama dari mazhab Syafi'i dan Hanbali memperbolehkan sukarela dalam menghajikan, pelaksananya ahli waris atau lainnya,dan biayanya boleh dari harta ahli warisnya atau dari orang yang dihajikannya itu.

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement