Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image RISNAWATI RIDWAN

Belajar Bahasa Isyarat di Hanasue Cafe

Olahraga | Tuesday, 19 Oct 2021, 11:42 WIB

Saya mempunyai janji temu dengan seorang teman dan kami memutuskan akan bertemu di Hanasue Cafe. Hanasue, berasal dari Bahasa Aceh yang mempunyai arti “tidak bersuara”. Hanasue Cafe merupakan salah satu warung kopi yang ada di Banda Aceh yang sering disebut sebagai negeri seribu warkop. Yang menjadi perbedaan utama Hanasue Cafe ini adalah pengelolanya, yang terdiri dari orang-orang dengan keterbatasan indera yaitu disabilitas rungu.

Tentunya berada di cafe yang pelayanannya dilakukan oleh orang-orang dengan keterbatasan seperti mereka membutuhkan softskill tertentu untuk dapat berkomunikasi dengan mereka. Setidaknya saat kita duduk di cafe tersebut kita dapat menyampaikan pesanan kita dengan benar dan mereka memahami keinginan kita dan juga dapat menyajikan pesanan kita dengan benar.

Minum kopi disini memang menimbulkan sensasi yang berbeda. Jika biasanya kita memesan makanan dan minuman sambil melihat daftar menu yang diberikan oleh pelayan, namun disini kita harus memandang mata mereka untuk menyebutkan menu pesanan kita. Saya menanyakan kepada teman saya bagaimana menyebutkan menu pesanan saya dengan bahasa isyarat mereka. Namun teman saya juga ragu-ragu karena baru bergaul dengan disabilitas rungu ini belum lama, sehingga belum banyak kosa kata bahasa isyarat yang diingat.

Sambil menunggu pesanan, saya meminta salah satu dari mereka untuk mengajarkan kosa kata dari pesanan saya. Saya memesan ice lemon tea. Saya diajarkan membentuk huruf-huruf menggunakan jari-jari saya. Huruf L ditandai dengan jari telunjuk kanan dan jempol membentuk huruf L, kemudian huruf E dibentuk dari 3 jari tangan menyamping ke arah kiri, sampai ke huruf terakhir yaitu tea berupa huruf A. Isyarat dingin ditunjukkan dengan gerak tangan yang dikepal di depan dada yang menandai gerakan kedinginan. Namun ada bahasa isyarat yang lebih mudah untuk memesan segelas ice lemon tea dengan hanya memberi isyarat huruf L dan huruf T saja ditambah dengan gerakan kedinginan tersebut. Teman saya berbisik ditelinga saya dan mengatakan,”keburu haus mesan ice lemon tea begini lama, tetapi sensasinya memang berbeda”. Dan saya menyetujui pendapatnya.

Suasana cafe yang teduh membuat kita betah berlama-lama untuk mengobrol disitu. Cafe yang yang masih seumur jagung ini berupa bangunan semi terbuka, dimana kursi dan mejanya berada di taman tanpa atap. Suasana rimbun dari pohon flamboyan dan kelengkeng yang sejuk memuaskan rasa teduh apalagi jika kita mampir pada siang hari yang terik.

Aktivitas saya selama ini biasanya berkaitan dengan kelompok marjinal lain seperti fakir miskin, orang terlantar atau disabilitas netra. Komunikasi dengan kelompok ini tidak berbeda dengan kita yang normal. Berbicara seperti apa adanya. Namun saat harus berkomunikasi dengan disabilitas rungu saya menjadi ragu-ragu dan kuatir bahwa bahasa yang saya gunakan kepada mereka tidak dapat dipahami. Bahkan kode-kode dan isyarat yang sering kita gunakan rasanya belum mencerminkan bahwa komunikasi dengan mereka itu baik-baik saja.

Saya juga melihat bagaimana teman-teman disabilitas rungu ini berkomunikasi dengan sesama mereka. Mereka mempunyai simbol-simbol yang lebih praktis dibandingkan hanya dengan menggabungkan huruf-huruf menjadi sebuah kata. Misalnya, untuk menggambarkan arti kata “dingin”, alih-alih menggunakan gerak isyarat tangan menggabungkan huruf-huruf “dingin”, mereka hanya menggunakan isyarat berupa tangan di kepal di depan dada yang mengisyaratkan tanda “kedinginan”.

Selain itu pengertian dan pemakluman mereka dalam berkomunikasi dengan manusia normal itu lebih besar dari pemakluman orang normal kepada mereka. Saya berasumsi bahwa mereka sangat paham bahwa kita sebagai manusia “dengar” sangat tergantung dengan pendengaran untuk memahami sesuatu. Dibandingkan dengan mereka manusia “tuli” yang sangat tergantung dengan isyarat. Disinilah pemakluman mereka kepada kita manusia normal ditunjukkan bahwa ketergantungan kepada sesuatu yang tidak mereka miliki tersebut menjadi hal yang biasa bagi mereka.

Selama berada di Hanasue Cafe ini mengingatkan saya bahwa belajar bahasa isyarat sama sulitnya seperti anak saya harus menghapal huruf-huruf A sampai Z. Dimana antara huruf kecil B dan D membuat bingung dimana meletakkan “perut”nya, dibelakang atau didepan garis. Demikian juga dengan belajar bahasa isyarat, mencoba menghapal semua huruf dalam bentuk isyarat dan pada akhirnya setiap kosa kata mempunyai isyaratnya sendiri.(RbR)

Sumber Foto : Dokumen Pribadi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image