Senin 08 Nov 2021 13:20 WIB

Analisa Banjir Bandang di Kota Batu

Banjir terjadi karena ada desakan penggunaan lahan untuk pertanian maupun pemukiman.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Relawan mengoperasikan alat berat untuk membersihkan material lumpur dan puing-puing rumah yang hancur akibat diterjang banjir bandang di Bulukerto, Batu, Jawa Timur, Senin (8/11/2021). Sebanyak 1.750 personel dari TNI, Polri dan Relawan diterjunkan untuk membantu penanganan dampak bencana banjir bandang di kawasan tersebut.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Relawan mengoperasikan alat berat untuk membersihkan material lumpur dan puing-puing rumah yang hancur akibat diterjang banjir bandang di Bulukerto, Batu, Jawa Timur, Senin (8/11/2021). Sebanyak 1.750 personel dari TNI, Polri dan Relawan diterjunkan untuk membantu penanganan dampak bencana banjir bandang di kawasan tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Prof Suratman mengatakan, banjir bandang yang melanda Kota Batu, Jawa Timur, menunjukkan ada gangguan ekosistem di sana. Banjir ini sebagai peringatan ekosistem yang terganggu oleh manusia.

Ia mengatakan, gangguan ekosistem akibat alih fungsi lahan oleh manusia menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir bandang di Kota Batu. Banjir terjadi karena adanya desakan penggunaan lahan untuk pertanian maupun pemukiman.

Pengaruh tekanan penduduk dalam peggunaan lahan tidak lagi sesuai dengan daya dukung lingkungan dan kemampuan lahan. Karenanya, perlu dilihat kalau sebagai daerah resapan air, kawasan lindung semestinya banyak pepohonan.

"Jadi, harus mengendalikan keterbukaan lahan dan ada konservasi," kata Suratman, Sabtu (6/11).

Dari sisi sistem tanah, kata Suratman, Kota Batu memiliki bentang lahan yang rentan banjir. Banyak wilayahnya berupa lereng-lereng dan perbukitan, banyak kawasan dengan kemiringan di atas 40 derajat dengan tanah yang cukup tebal.

Beberapa kondisi tersebut menjadi pemicu terjadinya banjir. Kondisi Kota Batu yang dingin dan lembab, menjadikan pelapukan massa batuan tanah aktif, sehingga saat hujan deras mengkibatkan banjir membawa material seperti lumpur dan sampah.

Material vulkanik yang subur, secara ekonomi menggiurkan tapi resiko bencananya mengkhawatirkan. Dengan isu perubahan iklim, Indonesia patut waspada, ditambah  persoalan hujan ekstrim dan pengaruh daerah pegunungan dengan elevasi tinggi.

Belum lagi, Indonesia memiliki curah hujan lebih dari 3.000 milimeter per tahun yang patut jadi perhatian bersama. Indonesia, dengan banyak gunung vulkanik dan tingginya proses alih fungsi lahan, perlu menjadi sesuatu yang harus diwaspadai.

"Ini menjadi peringatan, terutama di Pulau Jawa, harus waspada karena banyak wilayahnya yang memiliki kondisi serupa dengan Batu, sehingga rentan banjir," ujar Suratman. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement