Sabtu 04 Dec 2021 23:10 WIB

Krisis, Palestina Berjuang Berikan Gaji Pegawai Negeri

Krisis keuangan yang dialami Otoritas Palestina disebut sebagai yang terburuk

Rep: Puti Almas/ Red: Esthi Maharani
 Tentara Israel berjaga di dekat bagian pagar pemisah Israel yang rusak, yang digunakan oleh pekerja Palestina untuk menyeberang ke Israel, di desa Jalameh, Tepi Barat. Otoritas Palestina (PA) yang berada di Ramallah, Tepi Barat hingga saat ini masih berjuang untuk membayar gaji para pegawai negeri.
Foto: AP/Nasser Nasser
Tentara Israel berjaga di dekat bagian pagar pemisah Israel yang rusak, yang digunakan oleh pekerja Palestina untuk menyeberang ke Israel, di desa Jalameh, Tepi Barat. Otoritas Palestina (PA) yang berada di Ramallah, Tepi Barat hingga saat ini masih berjuang untuk membayar gaji para pegawai negeri.

IHRAM.CO.ID, YERUSALEM -- Otoritas Palestina (PA) yang berada di Ramallah, Tepi Barat hingga saat ini masih berjuang untuk membayar gaji para pegawai negeri. Bertahun-tahun, wilayah itu mengalami stagnasi ekonomi, dengan inflasi yang melonjak, berkurangnya bantuan donor, hingga pemotongan pendapatan pajak oleh Israel.

“Kondisi yang kami jalani sulit, kami mengalami defisit keuangan,” ujar Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengakui minggu ini, mengatakan bahwa PA belum menerima bantuan untuk membayar gaji, yang diperkirakan menelan biaya bulanan 920 juta shekel Israel atau sekitar 292 juta dolar AS.

Krisis keuangan yang dialami PA disebut sebagai yang terburuk sejak pembentukan otoritas itu pada 1993. Banyak pekerja, secara khusus pegawai negeri yang merasa cemas karena hal ini.

“Awalnya, kami mendengar bahwa tidak akan dibayar sama sekali dan kemudian diberitahu mungkin mendapat potongan permanen 25 persen dari gaji kami,” ujar seorang pegawai publik PA yang menolak menyebutkan nama atas alasan privasi kepada Aljazirah, Sabtu (4/12).

Menurut pegawai publik tersebut, hingga saat ini, tidak ada yang tahu apakah gaji mereka akan dibayar atau tidak, atau apakah akan mendapatkan gaji penuh atau hanya 75 persen saja. Seperti ekonomi di seluruh dunia, Palestina saat ini bergulat dengan inflasi yang melonjak yang berasal dari gangguan rantai pasokan dan kekurangan bahan baku ketika negara-negara mengabaikan pembatasan terkait pandemi virus corona jenis baru (Covid-19).

Pendapatan fiskal PA turun ke level terendah dalam 20 tahun tak lama setelah dimulainya pandemi Covid-19 pada tahun lalu. Sementara dukungan dari donor asing telah berkurang selama bertahun-tahun, pukulan terbesar terjadi pada 2017, ketika mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menghentikan hampir semua bantuan untuk Palestina.

Meskipun penerus Trump, Presiden AS Joe Biden telah membuka kembali beberapa keran pendanaan, undang-undang AS sekarang melarang bantuan langsung ke PA. Laporan Bank Dunia (PDF) 17 November mengatakan defisit PA diperkirakan akan mencapai 1,69 miliar dolar AS pada akhir tahun.

Sementara bantuan donor diproyeksikan berjumlah 184 Juta dolar AS, atau sekitar 38 persen dari apa yang diterima pada 2020. Laporan menyebut bahwa upaya semua pihak sangat penting untuk menghindari krisis karena tanpa pembiayaan tambahan.

“PA mungkin mengalami kesulitan dalam memenuhi komitmen berulang menjelang akhir tahun,” ljelas aporan itu memperingatkan.

Pada bulan September, Israel mengatakan meminjamkan PA 500 juta shekel atau 155 juta dolar AS untuk dibayar kembali pada Juni 2022 untuk mencegah keruntuhan pihak berwenang Palestina. Jaafar Sadaqa, seorang analis ekonomi yang berbasis di Ramallah, mengatakan ada ketidakpastian besar mengenai apakah solusi jangka panjang akan ditemukan.

Dalam krisis keuangan sebelumnya, Sadaqa mengatakan, negara-negara donor akan terburu-buru untuk melunasi jumlah yang dibutuhkan dan bahkan sering meningkatkan bantuan keuangan mereka kepada PA.

Hutang PA kepada bank-bank lokal berjumlah 2,5 miliar dolar AS per Agustus 2021. Sementara itu, pinjaman bank domestik sudah melebihi batas yang ditetapkan oleh Otoritas Moneter Palestina (PMA), menghilangkan opsi pembiayaan ini ke depan.

Apa yang paling memperburuk krisis PA, disebut adalah karena Israel menolak untuk menyerahkan sebagian dari apa yang disebut pendapatan izin. Dana pajak yang dikumpulkan oleh Israel atas nama PA, termasuk bea cukai menyumbang lebih dari 60 persen dari pendapatan tahunan PA.

Sebagai bagian dari kesepakatan ekonomi pada 1994 antara Israel dan PA yang dikenal sebagai Protokol Paris, dana tersebut dimaksudkan untuk ditransfer ke PA setiap bulan. Tetapi Israel telah sering mengubah dana ini menjadi alat tawar-menawar politik, dengan menolak untuk menyerahkan uang secara keseluruhan atau sebagian sampai PA menuruti keinginannya.

Pada Januari dan Juni tahun ini, Israel mengurangi 50 juta shekel atau 16 juta dolar AS per bulan dari dana pembersihan, mengutip tunjangan tunai PA untuk keluarga tahanan Palestina dan mereka yang dibunuh oleh Israel. Pada Juli, Israel meningkatkan pemotongan bulanan menjadi 100 juta shekel atau 32 juta dolar AS.

“Pemotongan bulanan ini mewakili tekanan signifikan pada situasi fiskal Palestina,” kata Bank Dunia.

Di luar persenjataan keuangan pendapatan pajak, PA juga harus berurusan dengan berbagai kebocoran fiskal dan masalah struktural yang disebabkan oleh pendudukan Israel.

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) mengatakan dalam sebuah laporan (PDF) pekan lalu bahwa sejak Intifada Palestina Kedua atau pemberontakan pada 2000, pendudukan telah merugikan ekonomi Palestina di Tepi Barat sekitar 57,7 miliar dolar AS dalam penutupan, pembatasan dan operasi militer.

Laporan menyebut bahwa Israel memberlakukan sistem pembatasan mobilitas yang kompleks, yang secara efektif mengubah Tepi Barat menjadi pulau-pulau terpencil. Langkah-langkah itu melumpuhkan kegiatan ekonomi, menimbulkan dislokasi yang serius, dan kehilangan pendapatan yang signifikan dan dengan demikian memperburuk kelemahan dan kerentanan struktural yang sudah ada dan mengakar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement