Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mastri Imammusadin

Sholawat Soyar Maole, Kazanah Islam di Bukit Menoreh

Sejarah | Tuesday, 28 Dec 2021, 08:37 WIB
Kesenian Sholawat Jawa Soyar Maole, menjadi bukti dakwah Islam di wilayah Bukit Menoreh.

Bukit Menoreh begitu melegenda dengan berbagai kisah heroiknya, tak ayal kawasan ini menjadi power area dalam de Java Orloog yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro. Meski akhirnya di kawasan ini pula, benteng Stelsel ala De Kock berhasil mengepung Sang Pangeran beserta laskar dan hampir seluruh punggawanya. Berjuang di Menoreh Selatan (Purworejo - Kulon Progo), dan ditangkap - atau lebih tepatnya ditipu dengan perundingan damai - di Menoreh Utara (Magelang).

Selain menjadi bumi saksi perjuangan di masa Perang Jawa, tak sedikit pula petilasan para wali, pengasingan para punggawa Majapahit - Mataram yang abadi menjadi ukiran sejarah di kawasan Menoreh ini. Di era dakwah islam, kawasan Bukit Menoreh begitu sentral dengan banyak dilahitkan para alim ulama yang masyhur pada zamannya.

Saking specialnya kawasan ini, Penulis kondang SH. Mintardja menuliskan kisah Api di Bukit Menoreh yang digandrungi banyak kalangan terutama pelanggan setia media cetak.

Terlepas dari semua itu, di era modern ini jika kita telusuri kawasan Menoreh Selatan (Purworejo - Kulon Progo) masih menyimpan dokumen hidup dakwah islam di masa lalu. Dokumen hidup itu adalah kesenian Sholawat Jawa Soyar Maole.

Kesenian Soyar Maole masyhur di Desa Kaligono, dan tersebar hampir di seluruh Dusun di Desa ini. Kaligono secara administratif berada di Kecmatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo tak jauh dari Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta hanya berjarak lebih kurang 17 km saja.

Soyar Maole merupakan kesenian Sholawat Jawa, yang dilagukan adalah syair syair sholawat dalam Maulid Al- Barzanjie dan Dziba’iyyah. Perlengkapannya – atau di sini biasa disebut gamelan – terdiri atas Kendang, Kempling, Kempul, dan Gong. Kendang sebagaimana masyhur kita kenal, sedangkan Kempling, Kempul, dan Gong adalah Rebana yang ukurannya bervariasi besar - kecil. Gamelan itu dimainkan oleh empat orang sementara yang lainnya menyanyikan syair – syairnya.

Sholawat dalam Dziba’ dan Barzanjie yang dilantunkan dalam Soyar Maole, dilagukan dengan logat jawa. Satu contoh lirik dalam Kitab Al Barzanjie, berbunnyi:

“Sholatun wa taslimun azka tahiyyatin ‘alal Musthofal Mukhtari Khoiril Bariyyati”.

Dalam Soyar Maole, lirik tersebut dilagukan:

“Salatun Mustasalemun Aweh Zakat Pariyatin, Wangalal Mustopa Musa eka eril pariyatin”

Sekilas dua kalimat itu mirip, tapi tak sama. Pertama adalah lirik asli dalam Kitab Barzanjie berbahasa Arab, sedangkan yang kedua adalah lirik yang sudah diucapkan berdasarkan logat dan pengucapan Jawa. Selain kalimat ini, masih terdapat kalimat – kalimat lain yang sudah mengalami jawanisasi dalam tetembangan Soyar Maole. Tidak hanya lantunan Sholawat kepada Nabi Muhammad, dalam syair – syair Soyar Maole dilantunkan pula nasehat keagamaan, pitutur luhur dan beberapa nasihat – nasihat Jawa.

Soyar Maole khusus ibu ibu, dalam Pengajian Rajaban

Dahulu, pada awalnya Soyar Maole hanya dimainkan oleh bapak – bapak, namun seiring berjalannya waktu ibu – ibu pun tak ingin ketinggalan. Pada prinsipnya, tak ada batasan berapa orang dalam suatu majelis Soyar Maole, yang terpenting keempat gamelan itu sudah ter-tabuh dan siapapun boleh bergabung turut melantunkan syair – syair sholawat. Semakin banyak yang tergabung, Majelis Soyar Maole semakin syahdu. Jamaah yang tidak kebagian menabuh gamelan bertepuk tangan sembari melagukan syair – syair sholawat, bahkan ada beberapa grup Soyar Maole yang berinisiatif menambahkan kenthongan.

Gamelan Soyar Maole, tanpa Kendang

Soyar Maole merupakan cabang dari Kesenian Sholawat Maulud, yang merupakan kesenian sholawat Jawa asli Dusun Sebolong (Kawasan Goa Kiskendo), Desa Jarimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta yang lebih kurang berada 17 km di timur Desa Kaligono. Sholawat Maulud memiliki kesamaan yang identik dengan Sholawat Soyar Maole. Di antaranya, nada dan model penabuhan iringan gamelannya sama persis dan sama sama – bersumber dari Kitab Maulid Al Barzanji dan Dziba’iyyah, namun dalam Sholawat Maulud tetembangannya masih berdasarkan logat Arab sebagaimana bunyi tulisan Arab. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Soyar Maole telah mengalami akulturasi dengan kebiasaan masyarakat Kaligono di zaman itu yang mana masyarakatnya belum mampu mengucapkan bahasa Arab secara fasih. Namun karena semangat yang membara, karena kecintaan yang luar biasa kepada Baginda Nabi, semampunya dan terus menerus melantunkan sholawat atas Nabi Muha

Soyar Maole ini sangat unik, syahdu dan punya kekhasan yang sangat berkesan. Mungkin bagi yang pertama kali mendengar, terasa aneh karena sholawat yang berbahasa Arab dilagukan dengan logat jawa. Namun ketika kita ikuti, dengan menyimak naskahnya, rasa syahdu dan merinding bergemataran dalam hati. Bagaimana tidak, bayangkan saja orang tua yang belum mampu membaca Arab - atau kalaupun sudah mampu masih terbata-bata - begitu hening dan khusyu' melantunkan Sholawat atas Nabi Muhammad Al Mushtofa. Betapa besar kecintaan jama'ah Soyar Maole, sehingga memberi semangat spiritual luar biasa bagi yang ikut di dalamnya.

Simbah Rajak Pawirosastro, beliau dulu menjabat sbagai Ketua Dhusun Jetis Desa Kaligono sejak 1955 - 1983. Di saat itulah Soyar Maole di Desa Kaligono berkembang pesat.

Tokoh yang memperkenalkan Soyar Maole ini adalah Simbah Rajak Pawirosastro, beliau belajar langsung ke Sebolong, Jatimulyo kepada Simbah Towono bin Wiro Kromo. Tak jarang Simbah Towono menyempatkan waktu untuk dating ke Jetis, Kaligono dan mengajarkan Soyar Maole di sana. Di sela sela waktu, Simbah Towono juga kerap menyambangi Dusun Ngabeyan di mana terdapat sarean Sayid Ngabehi Syarifuddin bin Pangeran Aryadillah yang merupakan cicit dari Sunan Gunung Jati Jika diurut, Simbah Towono merupakan kakak dari ayah Simbah Pawirosastro. Ayah Simbah Pawirosastro, yaitu Simbah Setro Karyo adalah adik dari Simbah Towono yang keduanya adalah putra dari Simbah Wiro Kromo.

Selain di Kaligono, Soyar Maole diajarkan oleh Simbah Towono di Desa Tlogoguwo tepatnya di lintas Kaligesing - Kulon Progo yakni di Dusun Kalilo. Kini sudah menyebar di Dusun Pagertengah dan dusun lain di Desa Tlogoguwo.

Simbah Rajak Pawirosastro bahkan membuat Tulodho - istilah untuk panduan syair Soyar Maole - dengan menulis ulang Kitab Sholawat Al Barzanjie. Tulisannya dengan huruf Arab, ada yang berbahasa Arab dan ada pula lirik Jawa yang ditulis Arab. Penulisan ini beliau lakukan sekitar tahun 1970-an, namun perkiraan Sholawat Soyar Maole sudah berkembang sejak 1950.

Tulodho Soyar Maole, syair "Assalamu'alaika" yang ditulis oleh Simbah Rajak Pawirosastro.
Bagian syair yang dibaca saat Mahalul Qiyam.

Terkait nama Soyar Maole, merupakan istilah lain dari Sholawat Maulud.

Beberapa sesepuh ada yang memaknai "So - Ngaso (Istirahat) dan Yar = Mayar (mudah) sehingga maknanya istirahat dengan mudah sembari membaca Maulud (Maole)”.

Ada pula yang memaknai, “So – Sholawat, Yar – Istighfar, Maole sama dengan memole – terus menerus. Bersholawat dan Beristighfar secara terus menerus”.

Semoga, kita dan generasi setelah kita terus menerus istiqomah menghidupkan peninggalan leluhur yang adiluhung itu. Amin

Kepada para sesepuh, Lahum Al Fatihah....

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image