Senin 17 Jan 2022 21:38 WIB

'Paksakan Ajarannya pada Orang Lain Pelanggaran Beribadah'

Alissa menegaskan agar masyarakat tak semata menafsirkan sesuatu secara tekstual.

Alissa Wahid
Foto: nu.or.id
Alissa Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Beberapa hari ini jagad dunia maya dihebohkan oleh aksi dua pemuda di Lumajang yang berupaya merusak sesajen sedekah bumi milik warga setempat. Mereka melakukan itu berdalih memberantas kemusyrikan. Tentunya aksi ini menjadi bukti masih lemahnya kesadaran kesadaran berbangsa dan beragama yang berlindung di balik paham kebebasan berekspresi, beragama dan menyampaikan pendapat.

Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid, menjadi salah satu tokoh yang ikut bereaksi terhadap kasus perusakan sesajen yang mencoreng hak kebebasan beribadah dan berkeyakinan individu seseorang, serta melukai nilai keberagaman dan toleransi yang telah tumbuh subur di Indonesia.

"Jadi bukan soal sesajen itu haram atau tidak. Kita bisa berbeda pendapat soal itu (sesajen), tapi yang jelas tidak boleh mengambil hak orang lain. Dan ketika ada orang memaksakan ajarannya kepada orang lain di negara ini, nah itu merupakan pelanggaran," ujar Alissa Wahid, di Sleman, Senin (17/1).

Perempuan yang baru saja terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU 2022-2027 ini melihat ada beberapa hal menarik yang ditemui pada insiden merusak sesajen yang lalu, yaitu banyaknya kelompok yang mendukung aksi tidak beradab, intoleran dan bahkan hingga menjadi perdebatan di kalangan netizen.

"Kenapa banyak yang mendukung? Karena mereka menganggap sedang menjalankan perintah agama. Tapi dia juga lupa, bahwa menghormati hak orang lain itu termasuk perintah agama juga," kata perempuan yang pernah menempuh pendidikan Psikologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Demikian juga termasuk perintah untuk menaati peraturan, membangun kehidupan bersama yang baik dan membangun kemaslahatan umat, menutnya adalah semata-mata juga bagian dari ajaran agama.  Karena tidak etis jika ujaran atau perilaku yang demikian, dianggap sebagai kebebasan berpendapat, berekspresi dan berpikir.

"Dalam Alquran tertuang, ‘La Iqro Hafidzin’, yaitu tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Itu panduan, jadi kebebabsan berpendapat itu betul, tapi tidak sama dengan bertindak semau-maunya," ujar perempuan kelahiran Jombang, 25 Juni 1973 silam ini.

Pada saat yang sama, wanita yang juga putri sulung dari Presiden RI ke-4 alm KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini  juga mengamati bahwa praktik intoleransi di negeri ini kian hari kian subur di tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan masifnya narasi dan pemahaman keagamaan yang keliru.

"Karena kerja-kerja mereka (kelompok intoleran) dalam penanaman nilai yang seperti itu (radikal dan intoleran) dilakukan dengan cara yang massif dan sistematis. Di samping itu masyarakat belum punya pemahaman yang lengkap dalam beragama," ungkapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, di dalam Alquran Surat Al Maidah ayat 8 dikatakan ‘Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa’.

"Seseorang yang berlaku intoleran, tidak memahami kaidah hidup beragama yang sudah digariskan didalam Islam. Soal keadilan itu sudah jelas sekali tertuang didalam Alquran," jelas Alissa.

Ia kembali menegaskan, agar masyarakat tidak semata-mata menafsirkan sesuatu secara tekstual atau mempedomani satu perintah saja untuk dipraktikan, namun tidak memahami makna dan nilai dibaliknya, Sehingga tidak mendapatkan kaidah hidup beragama yang sudah diwariskan dalam ajaran islam.

"Jadi tidak bisa kita hanya mempedomani satu perintah saja tentang memberantas kemusyrikan. Dan kebanyakan orang itu seringkali hanya berhenti di praktiknya tapi tidak paham nilainya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement