Selasa 01 Mar 2022 16:52 WIB

Pakar UGM: Kebijakan JHT tak Sensitif Pekerja

Kebijakan JHT merupakan kebijakan yang bersifat redistributif dan sangat sensitif.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Kantor Kementrian Ketenagakerjaan, Jakarta, Rabu (23/02/2022). Dalam aksinya mereka menuntut Menteri Ketenagakerjaan segera mencabut permenaker No 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang di nilai akan menambah penderitaan dan kesengsaraan kaum buruh.Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Kantor Kementrian Ketenagakerjaan, Jakarta, Rabu (23/02/2022). Dalam aksinya mereka menuntut Menteri Ketenagakerjaan segera mencabut permenaker No 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang di nilai akan menambah penderitaan dan kesengsaraan kaum buruh.Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar kebijakan publik UGM, Dr Agus Heruanto Hadna menilai, kebijakan JHT pemerintah di BPJS Ketenagakerjaan tidak berbasis bukti dan yang data kuat. Apalagi, baru bisa dicairkan saat pekerja memasuki pensiun, yakni di usia 56 tahun.

Situasi ini menyebabkan kebijakan yang diambil menyisakan sejumlah persoalan dan menuai gelombang kritik lantaran proses penyusunannya tidak berdasarkan terhadap evidence based. Karenanya, ia menyebut kebijakan soal JHT ini tidak sensitif.

"Kebijakan ini tidak evidence based dan dibuat tidak sensitif terhadap publik, khususnya pekerja di sektor swasta," kata Hadna, Selasa (1/3).

Ia menuturkan, jika Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tersebut dibuat seolah disamakan dengan usia pensiun PNS. Padahal, persoalan yang dihadapi dari pekerja-pekerja di sektor swasta sangat berbeda dengan PNS.

Ditambah, situasi lapangan kerja saat ini sangat labil dan penuh ketidakpastian. Tidak sedikit pekerja sektor swasta alami PHK sebelum masa pensiun dalam usia yang beragam dan kebijakan pemanfaatan JHT belum mampu menjawab permasalahan tersebut.

Hadna mencontohkan pada pekerja terkena PHK pada usia 45 tahun. Pekerja tersebut harus menunggu selama 11 tahun untuk bisa mencairkan JHT. Kondisi pekerja sektor swasta di manapun tidak pasti, jadi penentuan batas usia sangat sulit bagi mereka.

"Seringnya kebijakan publik dibuat berdasar insting atau analogi kasus lain. Takutnya ini dianalogikan dengan PNS dan ini berbahaya kalau tanpa analisis mendalam," ujar Hadna.

Hadna menjelaskan, dalam kebijakan publik merupakan sesuatu yang cukup lumrah bila terdapat perubahan kebijakan. Meski begitu, ia mengingatkan, perubahan kebijakan menjadi sesuatu yang aneh ketika baru diterapkan lalu diganti dalam waktu dekat.

"Jadi, aneh ketika baru diterapkan seminggu lalu diganti," kata Hadna.

Ia mengungkapkan, perubahan kebijakan memang bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Sebelumnya, kondisi serupa pernah pula terjadi terhadap kebijakan dari ekspor batu bara. Yang mana, kebijakan baru diterapkan, namun satu pekan setelahnya dicabut.

Kebijakan JHT, lanjut Hadna, merupakan kebijakan yang bersifat redistributif dan sangat sensitif. Sebab, di dalamnya banyak pihak yang berkepentingan, dan banyak aktor yang terlibat. Ini seharusnya jadi sumber daya yang dimiliki pekerja.

"Tapi, ibaratnya itu ditahan hingga usia 56 tahun baru bisa diambil. Ini masuk kebijakan yang redistributif dan sangat sensitif, serta berisiko tinggi jika diimplementasikan," ujar Hadna. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement