Selasa 12 Jul 2022 20:29 WIB

Pesantren tidak Tertutup, LPAI Dirasa Terlalu Generalisir

Kritik yang disampaikan tidak hanya berdasarkan keluhan sebagian kecil orang tua.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Petugas menggiring tersangka Moch Subchi Azal Tsani (kedua kiri) seusai rilis kasus di Rutan Klas I Surabaya di Medaeng-Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (8/7/2022). Polda Jawa Timur menangkap Moch Subchi Azal Tsani yang menjadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati di Pondok Pesantren Siddiqiyyah, Ploso, Jombang.
Foto: ANTARA/Umarul Faruq
Petugas menggiring tersangka Moch Subchi Azal Tsani (kedua kiri) seusai rilis kasus di Rutan Klas I Surabaya di Medaeng-Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (8/7/2022). Polda Jawa Timur menangkap Moch Subchi Azal Tsani yang menjadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati di Pondok Pesantren Siddiqiyyah, Ploso, Jombang.

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Anggota DPD RI, Hilmy Muhammad menekankan, sistem pendidikan di pondok pesantren tidak pernah ditutup-tutupi. Bahkan, sebagian ponpes memadukan kurikulum yang disusun Kemendikbud dan Kemenag. Ini jadi kurikulum yang ideal.

Hal ini disampaikan Hilmy menyusul pernyataan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau Kak Seto. Yang mana, mengkritisi sistem pondok pesantren tertutup sehingga orang tua sulit memantau anak-anaknya.

Baca Juga

Ia menekankan, tidak ada yang tertutup dari sistem pendidikan ponpes dan semua bisa dicek. Hilmy merasa, ketika yang dikritik komunikasi antara santri dengan orang tua, masing-masing pondok pesantren tentu memiliki cara sendiri-sendiri.

"Ada kunjungan rutin setiap bulan, juga bisa melalui telfon yang disediakan pesantren, bisa juga dipantau melalui pengurus," ujar Gus Hilmy melalui rilis yang diterima Republika, Selasa (12/7).

Katib Syuriah PBNU tersebut menyayangkan atas kritik tersebut. Sebab, justru menandakan ketidaktahuan Kak Seto dengan sistem pendidikan di pondok pesantren. Ia mengingatkan, di mana-mana, model pendidikan dengan asrama pasti seperti itu.

"Tidak hanya dengan orang tua, akses kepada dunia luar dibatasi agar lebih fokus belajar. Lagi pula, kasus-kasus seperti kekerasan seksual maupun psikologi bisa terjadi di mana saja," ujar Hilmy.

Anggota MUI Pusat itu berharap, kasus pada satu pesantren tidak digeneralisir. Hilmy turut meminta agar semua pihak tidak memperkeruh keadaan karena saat ini pihak berwajib memang telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

Hilmy menilai, jika kasus ini terjadi di sekolah, tentu kita tidak akan menutup sekolah tersebut. Juga tidak akan menyalahkan sistem dan kurikulum di sekolah, namun akan fokus kepada kasusnya. Karenanya, ia berharap semua menahan diri.

Hilmy menekankan, melihat pesantren tidak bisa hanya dari satu sisi, utamanya sebagai bagian dari masyarakat. Dalam UU Pesantren, selain fungsi keagamaan dan pendidikan, pesantren memiliki fungsi pemberdayaan masyarakat.

Ia merasa, kritik Kak Seto seperti menghilangkan pemberdayaan yang telah menahun dilakukan ponpes membentuk karakter santri. Seperti nila setitik rusak susu sebelanga, kritik Kak Seto seolah mencabut akar pesantren sebagai bagian dari masyarakat.

"Dan ada banyak yang bisa dilihat, tidak hanya dalam aspek pembinaan ibadah dan akhlak, tapi bahkan dalam pembinaan sosial kemasyarakatan santri," kata Hilmy.

Salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak itu menyarankan, agar Kak Seto bisa lebih mengenal pondok pesantren dengan mengunjungi terlebih dulu pesantren-pesantren. Sehingga, Kak Seto lebih mengenal dan mengetahui kondisi sebenarnya.

"Sehingga, kritik yang disampaikan tidak hanya berdasarkan keluhan sebagian kecil orang tua yang memondokkan putranya," ujar Hilmy. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement