Kamis 14 Jul 2022 17:00 WIB

Geliat UMKM Logam, Dari Alat Pertanian Hingga Produksi Pisau Berkualitas

Kini produksi dari Gayeng Ruyeng bisa meluas ke wilayah-wilayah lain di Pulau Jawa.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Para pekerja Pande Besi Putra Cendana di Desa Pasir Wetan, Karanglewas, Kabupaten Banyumas.
Foto: Idealisa Masyrafina
Para pekerja Pande Besi Putra Cendana di Desa Pasir Wetan, Karanglewas, Kabupaten Banyumas.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Suara tempa besi dan berbagai macam alat nyaring bergema saling bersahutan ketika memasuki wilayah tersebut, sentra pandai besi di Desa Pasir Wetan, Karanglewas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Di wilayah ini, ada 47 usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di bidang logam yang menggeliat.

Salah satunya adalah Pande Besi Putra Cendana, yang terbesar di wilayah tersebut. Ketika berbincang dengan pemiliknya, Fajar (26 tahun), ia menuturkan bahwa Putra Cendana merupakan usaha turun-temurun empat generasi. "Namanya diubah menjadi Putra Cendana waktu saya yang ambil alih pada 2017," ungkap Fajar kepada Republika.co,id.

Sebagai keturunan pandai besi, Fajar telah belajar menempa besi sejak remaja, sehingga usaha milik keluarga dialihkan kepadanya yang merupakan putra bungsu keluarga. Tidak hanya sebagai pemilik, Fajar pun juga terjun langsung menempa besi bersama dengan empat orang pekerjanya.

Sebelumnya semua produksi dilakukan secara manual, namun sejak 2019 Putra Cendana telah menggunakan alat yang membuat proses produksi lebih cepat. "Dulu karena nggak ada mesin jadi lama mengerjakan pesanan, bisa sampai malam," katanya.

Adapun hasil produksinya berupa alat-alat pertanian seperti garpu kaki empat, garpu kaki tiga, dan cangkul. Ia juga membuat pisau, meski jarang. Namun, baru-baru ini, Putra Cendana bersama 21 UMKM lainnya yang tergabung dalam paguyuban Gayeng Ruyeng, mulai mencoba produksi pisau dapur berkualitas untuk chef.

Hal ini berkat Yayasan Dharma Bakti Astra (YDBA) yang membimbing sekitar 22 UMKM pandai besi di Desa Pasir Wetan tersebut. Fajar yang merupakan Ketua Gayeng Ruyeng menuturkan, untuk mengembangkan pisau dapur sekelas chef diperlukan dukungan dari YDBA untuk riset mengenai bahan, serta kerja sama dengan Indonesian Chef Association (ICA) untuk uji coba.

Tahun lalu, sudah ada memorandum of understanding (MoU) kerjasama dengan ICA untuk melakukan uji coba pada pisau chef generasi pertama yang diproduksi oleh Putra Cendana. Standar pisau generasi pertama telah disesuaikan dengan yang diminta oleh ICA yaitu tahan karat dan tidak mudah tumpul.

Ketahanannya saat ini masih diuji coba oleh ICA. "Kebanyakan pisau yang dipakai chef kita asalnya impor, patokannya pisau Victorino dari Swiss dan Tramontina dari Brasil. Tapi secara material susah didapat karena material kedua pisau itu dibuat sendiri, sementara di sini masih material biasa," ujar Fajar.

Dalam hal ini, YDBA yang membantu riset bahan ke Astra Otoparts. Akan tetapi diakui Fajar hingga saat ini masih sulit untuk mengejar kualitas pisau Victorino tersebut. Kendati begitu, lima set pisau chef generasi nol Gayeng Ruyeng telah sampai ke Swedia.

Sedangkan di dalam negeri, enam set pisau chef generasi nol telah dikirim ke Kalimantan. "Memang masih dalam uji coba, tapi setiap uji cobanya kita coba cari pasarnya. Generasi nol sudah dipasarkan ke Kalimantan dan Swedia, generasi satu masih menunggu uji coba ICA," kata dia.

Sebagai binaan YDBA, paguyuban yang berdiri pada Maret 2020 ini, telah dibantu dalam hal pemasaran, fasilitasi pasar, hingga pembiayaan. Apalagi di masa pandemi ketika pesanan menurun dan angkutan barang banyak yang terhenti.

Para pandai besi di Gayeng Ruyeng pun tertolong oleh pendampingan dari YDBA dalam hal pemasaran. Sebelumnya pemasaran hanya sebatas lokal, kini produksi dari Gayeng Ruyeng bisa meluas ke wilayah-wilayah lain di Pulau Jawa.

Tidak hanya itu, YDBA juga melatih mereka untuk mengenal jenis bahan baku, standardisasi produk, hingga meningkatkan kualitas produk. Bahkan YDBA juga melatih manajemen produksi, sehingga bengkel mereka menjadi lebih rapi dan waktu kerja pun lebih efisien.

Sementara itu, Noto (50 tahun), pemilik pandai besi Empu Tantulur dan juga salah satu anggota paguyuban Gayeng Ruyeng, merasa terbantu dengan adanya fasilitasi pembiayaan oleh YDBA. Melalui YDBA, ia dipertemukan oleh Bank BRI yang kemudian memberikannya pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Diakuinya, memang masih banyak pandai besi yang belum bergabung dengan Gayeng Ruyeng di desa tersebut karena mereka berharap pembinaan dengan uang saku, serta berpikir itu hanya buang-buang waktu. Padahal menurutnya, pendampingan oleh YDBA sangat membantu agar usahanya berkembang lebih baik.

"Saya dapat pembiayaan KUR, lalu dari segi market dan teknik juga berpengaruh. Dan diajari manajemen waktu, sekarang manajemen waktu saya sedikit lebih tertata," ujar Noto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement